Minggu, 17 Maret 2019

SEJARAH AWAL BERDIRINYA TNI

Banyak yang belum mengetahui sejarah terbentuknya Tentara Nasional Indonesi (TNI) dikarenakan banyak fakta sejarah yang tidak diungkap kepermukaan atau bahkan memang sengaja ditutupi karena bergai kepentingan kekuasaan.
Dalam tiap peperangan melawan kolonial Belanda perlawanan indonesia selalu mengalami kekalahan, salah satu faktor utamanya adalah karena hanya dipimpin satu tokoh bersama masyarakat yang belum terlatih dalam strategi peperangan atau kemiliteran.
Melihat situasi tersebut Bung Karno melalui Gatot Mangkoepradja yang dikenal baik oleh Pemerintah Jepang mengusulkan untuk membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang pada tanggal 3 Oktober 1943 yang dibentuklah secara resmi melalui Osamu Seirei No. 44 Tahun 1943.
PETA yang dilatih kemiliteran oleh tentra Jepang terdiri dari 65 Batalyon dengan setiap Batalyon beranggotakan 700 orang yang kesemua Batalyon anggotanya bergama Islam, bahkan dari 65 Batalyon, yang 20 Batalyon dipimpimpin oleh komandan Batalyon berpangkat mayor (Daidancho) yang berstatus Kyai.
Berikut nama-nama perwira PETA yang berstatus Kyai, Diantaranya adalah:
1. Kyai Tubagus Achmad Chatib (Komandan Daidan 3 di daerah Labuan Banten)
2. Kyai Sjam'oen (KOmandan Daidan 4 Cilegon Banten),
3. Kyai R Abdoelah bin Noeh (Komandan Daidan 3 Djampang Kulon Banten),
4. Kyai Doerjatman (Daidancho Tegal),
5. Kyai R.M. Moeljadi Djojomartono (Daidancho Manahan, Surakarta),
6. Kyai Masjkoer (Daidancho Bojonegoro),
7. Kyai Abd Kholik Hasyim (Daidanco Gersik),
8. Kyai Iskandar Sulaiman (Komandan Daidan 4 Malang, Ketua Suriah NU Malang)
9. Kyai ldris (Daidancho Wonogiri, Jogja),
10. Kyai R Abdoelah bin Noeh (Oaidancho Djampang Kulon, Bagor),
11. Kyai R Amien Ojakfar (Daidancho Pamekasan, Madura),
12. Kyai Abdoel Chamid Moedhari Daidancho Daidan III Ambunten, Sumenep),
13. Kyai R Aroedji Kartawinata (Daidancho Cimahi, Priangan),
14. Kyai Soetalaksana (Daidancho Tasikmalaya, Priangan),
15. Kyai Pardjaman (Daidancho Pangandaran, Priangan),
16. Kyai Hamid (Kastaf Daidan 11 Pangandaran, Priangan)
17. Kyai Doerjatman (Daidancho Tegal),
Berselang setahun setelah terbentuknya PETA, KH. Hasyim Asy'ary mengajukan permohonan kepada Pemerintah Jepang pada bulan Oktober 1944 untuk memberikan kepada SANTRI yang kemudian dibentuklan Barisan Tentara Hisbullah di Cibarusa Bogor.
Setelah Indonesia merdeka, ini menjadi cikal bakal terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI), dengan terbentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI dalam sidangnya pada tanggal 22 Agustus 1945 dan diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945.
BKR terdiri dari 5 elemen militer, yaitu Bekas PETA, Bekas Tentara Hisbullah, Unsur Tentara mantan Keigun Heiho, Unsur Tentara mantan Knil dan Unsur masyarakat yang mempunyai keberanian untuk berjuang bersama yang kemudian menjadi cikal TNI dengan terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (atau biasa disingkat dengan TKR) pada tanggal 5 oktober 1945 berdasarkan maklumat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia (atau disingkat dengan TRI) pada tanggal 26 Januari 1946 berdasarkan Penetapan Pemerintah No.4/SD tahun 1946 dan menjadi Tentara Nasional Indonesia hingga saat ini.
Perjuangan Ulama' NU dalam mempertahankan Kemerdekaan seharusnya diletakkan dalam catatan sejarah bangsa Indonesia yang dikenalkan untuk diteladani kegigiahan dan perjuangannya sehingga anak cucu kita tidak menjadi generasi Amnesia sejarah.
Menurut Prof. Dr. KH. Agus Sunyoto sewaktu menjadi Wartawan Jawa Pos sempat mewaancarai beberapa Kyai NU pada tahun 1988 - 1990 sebagai pelaku sejarah perjuangan dengan pertanyaan 'Mengapa perjuangan Kyai seakan tidak ada yang mencatat, membukukan atapun melakukan klaim perjuangannya?".
Ternyata jawaban yang disampaikan dari beberapa narasumber hampir memiliki pandangan yang sama, bahwa "Perjuangan merebut kemerdekaan merupakan jihat yang menjadi urusan kami dengan Allah, jadi kami tidak memerlukan imbal balik duniawi?".

Dikutip dari : Prof. Dr. KH. Agus Sunyoto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar yang baik