Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OPINI. Tampilkan semua postingan

Rabu, 30 Agustus 2017

Desaku Dalam Kepungan Pengawas, Silahkan Saja, Asal Jangan Berubah Fungsi .


Magetan.Suarakumandang.com- Setelah lebih dari 68 tahun Indonesia Merdeka, untuk yang pertama kalinya Pemerintah Desa Indonesia mendapat perhatian agak serius dari Pemerintah Pusat dengan dilahirkannya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa.

Legal standing atau hak untuk mengajukan permohonan perselisihan atau perkara di depan Mahmakah Konstitusi atas existensi Pemerintahan Desa sudah jelas berkekuatan hukum. Hal itu terbukti dengan adanya UU Desa, Pemerintah Desa mendapat kucuran dana pembangunan langsung dari APBN disetiap tahun anggaran berjalan.

Secara ekonomi aparatur Pemerintah Desa sedikit ada perbaikan dengan adanya Siltap (Penghasilan Tetap) meskipun belum bisa dicairkan setiap bulan seperti PNS, TNI dan Polri.

Sebelum lahirnya UU Desa, nasib desa seperti seorang ibu yang dilupakan oleh anak-anaknya. Sunyi, sepi, monoton, diacuhkan dan dipandang sebelah mata. Desa dibuat anekdot atau lelucon oleh orang-orang kota atau orang-orang yang sok kekota-kotaan dengan kalimat (Dasar ndeso, maklum orang kampung, orang udik dst.

Tinggal di Desa dan menjadi masyarakat Desa dianggap warga negara kelas dua. Menjadi Petani, Pekebun, Nelayan dianggap MADESU (Masa Depan Suram) dst.

Padahal secara faktual orang yang sok kekota-kotaan tersebut makan nasi dari beras yang ditanam masyarakat Desa, makan buah segar hasil tanaman Pekebun dari Desa, mendapat makanan sumber protein dari ikan laut hasil tangkapan dari Nelayan Desa, bahkan bisa jadi orang yang sok kekota-kotaan tersebut lahirnya di Desa atau keturunan orang Desa.

Singkat kata dan pendek cerita Desa dianggap seperti gadis puritan, kudisan yang memalukan untuk dipandang dan didekati apalagi dipacari.

Kini setelah lahir UU Desa dan mendapat kucuran dana pembangunan Desa milyaran rupiah setiap tahun angaran, sepertinya terjadi paradok dimana orang-orang kota mulai berduyun-duyun turun ke Desa, kampung bahkan ke gunung-gunung. Berlagak seperti perjaka yg ingin kenal dan memikat gadis desa, ingin memacari, ingin mengawini bahkan banyak yg ingin memerkosanya .

Namun sejatinya pelecehan terhadap orang Desa terutama para Kepala Desa masih terus berlanjut, yang mana para Kepala Desa dan Perangkat Desa dianggap masih katrok, tidak cakap dan tidak mampu mengelola dana Desa. Mungkin mereka berfikir hanya orang kota lah yang cakap dan mampu mengelola uang dalam jumlah besar.

IKLAN
Akibatnya, pengelolaan dana Desa oleh Pemerintah Desa dikepung dari berbagai sisi lembaga pengawasan. Mulai dari pengawasan daerah (Inspektorat, Saber Pungli oleh Polres), Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten, Pers atau wartawan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dsb.

Masih ditambah team pengawasan dari pusat yang terdiri Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), BPK, KPK, Satgas Dana Desa yang dipimpin oleh mbah Bibit Samat Riyanto (Mantan Komisioner KPK) dan paling utama pengawasan dari ALLAH SWT.

Anak-anakku dan adik-adikku, para Kepala Desa dan Perangkat Desa seluruh Indonesia, sebanyak itulah pihak yang mengawasimu, namun tetaplah melangkah kedepan, berdiri tegak dengan langkah gagah, jika terpeleset akan saya papah, kalau terjatuh akan ku gendong.

Lanjutkan pengabdianmu terhadap rakyat Desamu dengan tanpa ragu!!!!!

JUJUR, SESUAI ATURAN, BERANI DAN BERWIBAWA.

Biarkan dan tetap hormati keberadaannya sebagai PENGAWAS tetapi lawanlah jika beralih fungsi.

TULISAN HATI Kepala Desa Anak Desa di MAGETAN.
Oleh: Totok Sugiharto,ST.

Selasa, 15 Agustus 2017

TAFSIR SALAH KAPRAH

Oleh Aswab Mahasin

Saya teringat sebuah novel dengan judul To Kill a Mockingbird karya Harper Lee, tokoh dalam novel tersebut bernama Miss Maudie bertutur, “Kadang-kadang, Al-Kitab (dan kitab suci agama apapun) di tangan seseorang lebih buruk, daripada botol wiski di tangan orang lain.”

Kalimat tersebut bukan berarti menghina kitab suci dan mengagungkan wiski (minuman keras) melainkan nada nyinyir semata. Ada dua argumen, Pertama, Kitab suci yang disalah artikan penafsirannya sehingga agama bukan menjadi rahmat, dan Kedua, Kitab suci hanya dijadikan pegangan bukan pedoman. Kedua argumen tersebut mempunyai korelasi yang saling bersautan. 

Agama manapun adalah rahmat bagi seluruh alam, agama tentu mengajarkan kebaikan, keadilan, dan kesantunan. Praksisnya ada oknum-oknum yang membuat agama nampak garang. Kejadian di Myanmar, di mana umat Islam Rohingya diberangus oleh kelompok Buddha Ortodok, dan di Indonesia sendiri sentimen gesekan agama mulai nampak di permukaan. Dibarengi dengan isu ISIS yang selalu mengahantui. Ini membuktikan agama menjadi alat pertentangan yang strategis, dengan mengobral firman-firman Tuhan/ayat-ayat Tuhan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Negara belum berani membendung hal tersebut. Dilemanya adalah dua unsur besar dibenturkan, seakan-akan agama berlawanan dengan negara dan negara berlawanan dengan agama. Tidak jauh-jauh kita ambil contoh, kasus bendera merah-putih yang bertuliskan La ilaha Illallah—sempat menjadi isu yang seksi dan pertentangan oleh banyak kalangan.

Mengapa gerakan atas nama agama mudah mendapatkan ekspresinya dan modus pelaksanaannya? Karena janji kebahagian di surga, janji mengenai penguasa baik dan berkuasanya kebaikan, inilah jubah ideologis yang penafsirannya harus diluruskan.  

Berangkat dari hal tersebut, isu terhangatnya ialah menjamurnya kelompok anti-NKRI dan anti-Pancasila. Gerakannya cukup masif, terutama di kampus-kampus. Dan bagi pandangan saya gerakan ini harus segera dibendung aktivitasnya. Namun sampai sekarang pemerintah belum berani untuk mengambil tindakan tegas, padahal telah pasti kelompok tersebut melakukan aktivitas makar.

Di mana kelompok tersebut ingin merubah sistem negara kita kepada sistem negara Islam (daulah Islamiyah). Baru saja saya membaca surat edaran dari Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, beliau menginstruksikan agar seluruh elemen kampus harap tidak bergabung atau berpartisipasi dalam gerakan tersebut. Seharusnya sikap ini tumbuh juga secara nasional.

Tafsir salah kaprah

Kata Al-Qur’an Nabi Muhammad Saw diutus tidak lain untuk membawakan amanat persaudaraan dalam kehidupan (Al-Anbiya [21]: 107), jelas visi budayanyanya adalah persaudaraan, bukan pertentangan, apalagi perpecahan. Dalam model lain Allah SWT menggambarkan, serulah dengan bijaksana. 

Konsep agama seperti ini yang harus disemarakan bukan konsep agama yang ditafsirkan pada kekerasan semata. Dalil-dalil jihad dicomot sebagai alat untuk pertentangan agama, ayat memilih pemimpin yang bukan dari golongannya dicatut untuk memuluskan aksi politik. Tentu, ini bukan wajah agama sebenarnya, karena sejatinya agama itu menyenangkan dan teduh (jika ditafsirkan secara operasional). 

Agama menjadi kacau karena penafsirannya normatif tidak filososfis dan teoritis. Meminjam bahasa Kuntowijoyo seharusnya Dalil agama sebagai grand theory harus ditafsirkan pada tingkatan yang operasional, bukan pada pertentangan normatif belaka. 

Selain itu penafsiran tentang negara Islam tentu salah kaprah. Menurut Gus Dur, pengertian negara dari kata “daulah”, yang tidak dikenal oleh al-Qur’an. Dalam hal ini, kata tersebut mempunyai arti lain, yaitu “berputar” atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang terkumpul itu tidak berputar dan beredar antara orang-orang kaya saja di lingkungan anda semua” (Al-Hasyr [59]: 7). 

Dalam konteks kebudayaan juga, negara Islam tidak tepat, negara Islam adalah basis ideologi, teori Radiasi Budaya Arnold Toynbee mengatakan, aspek budaya yang di tanah asalnya tidak berbahaya akan menjadi berbahaya di tempat yang baru didatangi. Melihat bentang sejarah Indonesia dulu hingga kini, tentu bertolak belakang. 

Jalan tengah

Transformasi sistem berketuhanan kita yang harus dibenahi. Karena dewasa ini sistem teologi agama yang berkembang nampaknya tidak cukup relevan memberikan jawaban terhadap permasalah-permasalah kemanusiaan. Dengan demikian, sistem berketuhanan harus dipahami sebagai ajaran yang menambah nilai guna, guna spiritual, guna emosional, guna sosial, guna kultural, dan guna intelektual. Tidak hanya sebatas tataran seremonial atau formal belaka.

Transformasi menuju masyarakat yang damai dan menyenangkan di Indonesia seharusnya dipahami juga sebagai urusan penting, kita tidak bisa menunggu proses natural (bim sala bim). Kita membutuhkan peran pemerintah/negara, guru bangsa, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan semua elemen warga, memberikan pemahaman untuh tentang arti nasionalisme, arti kesatuan, dan arti keharmonisan.

Dan kita semua sepakat bahwa kita tidak mau membawa NKRI ini pada permasalahan disintegrasi. Dengan demikian konsistensi (istiqomah) dalam merawat bangsa harus ditumbuhkan demi pembangunan manusia paripurna. 

Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.

Sabtu, 22 Juli 2017

SEPERTI APA AGAMAKU KELAK

*Anak-Anak Subuh*
by: Bayu Gawtama

Ada anak lelaki yang hampir setiap subuh ikut berjamaah, ia berdiri dan duduk persis di sebelah Ayahnya. Meniru semua gerakan Ayahnya, si Ayah sholat sunnah ia ikut, begitu seterusnya.

Ada anak usia sekitar tiga tahun yang kadang-kadang ikut Ayahnya ke masjid. Wajahnya terlihat baru bangun tidur, masih pakai diapers pula. Berdiri persis di samping Ayahnya mengikuti Ayahnya sholat sunnah sebelum subuh. Sampai gerakan sujud nggak bangun lagi, hingga Ayahnya selesai sholat, ternyata ia tertidur sambil sujud.

Ada lagi anak yang usianya juga sekitar tiga tahun. Juga berdiri di sebelah Ayahnya, namun pada saat sholat subuh tak berapa lama setelah takbir dan Imam membaca alfatihah, ia ngeloyor meninggalkan barisan. Hingga sholat subuh usai, biasanya ia duduk di pojok masjid menunggu Ayahnya selesai.

Ada pula Ayah yang membawa anaknya ke masjid dalam kondisi masih terlelap. Di gendong turun dari mobilnya, sampai ke masjid dan bahkan hingga jamaah bubar si anak tetap terlelap. Meski sang Ayah sudah mencoba membangunkannya. Maklum, masih usia dua tahun.

Yang menarik ada anak yang rajin ke masjid padahal tidak ada Ayahnya. Entah bagaimana ibunya mendidik, menarik pastinya. Meski tanpa Ayah yang sudah lama meninggal, ia tetap rajin ke masjid.

Selama masih ada barisan anak-anak yang berangkat ke masjid di subuh hari, meskipun dengan berbagai kepolosan perilakunya, maka masih jelas masa depan agama ini.

Selama masih ada orang tua, terutama para Ayah yang berupaya mengajak serta anak-anaknya sholat subuh berjamaah di masjid, akan kokohlah barisan pejuang agama Allah. Negara pun akan selamat.

Khawatir lah bila sudah tidak ada kalangan muda dalam barisan jamaah subuh di masjid-masjid, bagaimana nasib ummat ini di masa datang?

Ada riwayat yang terbaca, salah satu rahasia kehebatan para pejuang Aceh, yang membuat penjajah kesulitan mengalahkan rakyat Aceh adalah, Teuku Umar dan para panglima memilih pasukannya dari masjid-masjid di waktu subuh.

Mereka yang bangun subuh adalah para pejuang. Orang-orang yang bersungguh-sungguh, yang telah bisa mengalahkan rasa lelah dan malasnya, tak turuti kantuknya, menguasai egonya.

Kagum kepada para orang tua yang tak lelah mengenalkan, mengajarkan dan memberi contoh kepada anak-anaknya untuk sholat berjamaah subuh di masjid. Kelak anak-anak ini menjadi pribadi yang tangguh raga dan jiwanya.

Tak perlu khawatir, bila subuh saja bisa dikuasai, kelak masa depan bisa digenggam.

Senin, 17 Juli 2017

INDONESIA MILIK BERSAMA


Toleransi, Kebhinekaan dan Penyesatan Umat
                                       
Oleh: KH. Muh. Najih Maimoen

Saat ini muncul sekelompok orang yang merasa paling memiliki Indonesia, paling berdarah Merah Putih. Pemangku tunggal Negara Kesatuan Republik Indonesia, paling ber-Bhineka Tunggal Ika, paling paham Pancasila, dan UUD 1945.

Sangat gegabah jika mereka mengatakan, bahwa Indonesia saat ini lagi terancam kebhinekaannya. Sungguh eroni jika mereka mengatakan bahwa umat islam itu golongan ekslusif yang tidak paham dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wajar ketika ada arus aspirasi umat Islam untuk memperoleh hak dan keadilan. Aspirasi merupakan ekspresi dan hak setiap warga Indonesia. Jangan pandang Islam di negeri ini sebagai ancaman ke-Indonesiaan.

Wajar umat islam marah, jika yang dilecehkan itu Al Qur'an, kitab suci pedoman umat islam. Wajar mereka tersinggung ketika Rasulullah SAW yang mereka cintai dan menjadi teladan umat ini direndahkan. Apa yang dilakukan umat islam merupakan bentuk kewajiban sekaligus bukti dan ujian kecintaan dan keimanan mereka.

Aksi semacam itupun pernah terjadi pada jaman Belanda, disaat beberapa ormas islam yang berjumlah 35.000 orang turun ke jalan untuk melakukan Aksi Bela Islam, memprotes penistaan terhadap Baginda Rasulullah SAW oleh Djojodikoro, dalam tulisannya di harian Djawi Hisworo, pada tahun 1918. Tentara Kanjeng Nabi Muhammad‎ SAW itu didirikan oleh Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto untuk menuntut dan mendesak pemerintah Hindia Belanda dan Sunan Surakarta untuk segera mengadili Djojodikoro dan Martodarsono (pemilik surat kabar) atas kasus penistaan kepada Nabi Muhammad SAW tersebut.

Pandangan negatif itu jelas tidak beralasan. Lihatlah munculnya Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama yang dipelopori KH. Hasyim Asy'ari dalam memperjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebelum Resolusi Jihad, telah muncul Fatwa Jihad, setelahnya, muncul pertempuran 10 November yang kemudian ditetapkan menjadi hari Pahlawan. ketika Sarekat Islam dan Muhammadiyah memelopori pergerakan Islam untuk melawan penjajah menuju gerbang kemerdekaan. Lahirnya Hizbul Wathan atau Pasukan Tanah Air tahun 1918 salah satu contoh kepeloporan bela bangsa kala itu, sebagai wujud jihad fisabilillah.

Tatkala Indonesia diambang retak satu hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dalam peristiwa Piagam Jakarta, umat Islam melalui tokoh utamanya Ki Bagus Hadikusumo dengan mediator Kasman Singodimedjo memberi jalan keluar, dengan semua pengorbanannya.

Para tokoh Islam yaitu Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosujoso, dan Abdul Wahid Hasyim, sebagai anggota Panitia Sembilan yang disebut mewakili golongan Islam ditilap dengan tujuh kata "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti secara diam-diam menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Pengorbanan yang dilakukan para wakil umat Islam itu demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masihkah diragukan komitmen dan pengorbanan umat islam untuk bangsa ini. Hanya karena ingin menuntut keadilan karena agamanya didholimi, lalu dicap sebagai biang ancaman kebhinekaan. Seakan kebhinekaan hanya milik segelintir orang yang ambisius ingin menguasai Indonesia selamanya.

Kenyataannya, justru sinyal perpecahan dan sikap intoleransi itu datang dari para elit politik yang membanggakan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Pidato politik oleh Ketua Umum PDIP pada acara perayaan HUT ke-44 PDIP sebagai salah satu bentuk intoleransi dan penistaan terhadap Islam. Menimbulkan gesekan antar umat beragama dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pidato tersebut telah menciderai islam dan pancasila yang berketuhanan yang maha esa.  Mereka menginginkan islam lemah, diam tidak punya nyali. Satu per satu ulama dan tokoh Islam dilaporkan ke pihak berwajib dengan berbagai tudingan. Berbagai kesalahan mereka terus dicari-cari. Opini pun terus dibangun, bahwa para ulama sebagai penggerak aksi yang mereka anggap sebagai pihak yang mengganggu dan merusak kebhinekaan. Ada upaya provokasi terhadap kelompok anti-Islam untuk melakukan perlawanan/ penolakan terhadap ulama. Diakui atau tidak, hal ini mengindikasikan adanya upaya kriminalisasi terhadap ulama.

Menguatnya kekuatan Islam yang direpresentasikan Aksi Bela Islam menunjukkan kuatnya dukungan dan ketundukan umat kepada para ulama, membuat takut kelompok status quo ataupun kelompok anti-Islam. Muncul kekhawatiran akan terancamnya kepentingan mereka di negeri ini, apalagi jika dibiarkan hal ini bisa memunculkan kebangkitan Islam. Maka berbagai cara dilakukan untuk menghadangnya. Lahirnya Perppu Nomor 2 tahun 2017 salah satu intimidasi dan bentuk pembunuhan karakterisasi islam. Dengan Perppu tersebut, Pemerintah bisa berbuat sewenang-wenang membubarkan ormas yang secara subyektif dianggap Pemerintah bertentangan dengan Pancasila, tanpa melalui proses peradilan. Jelas ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kemunduran berdemokrasi. Lahirnya Perppu tersebut kelihatan hanya berdasarkan kebencian pemerintah pada ormas tertentu dan ini hanya akan memunculkan sentimen anti pemerintah di kalangan ormas, dan justru akan lebih banyak lagi bermunculan ormas-ormas radikal lainnya.

Dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, agama harus ditempatkan pada tempat yang strategis. Tidak boleh diciderai, dinodai dan dinista. Umat islam tidak anti pancasila, umat islam hanya tidak terima bila syari'at islam disejajarkan dengan pancasila. Kami mengakui Pancasila sebagai filsasfat dan dasar negara, namun bukan sebuah ideologi. Jadi salah bila ada pernyataan "ideologi harus dilawan dengan ideologi" karena tidak sejajar.

Mari bersama-sama memiliki dan merawat Indonesia dengan otentik dan tidak egoistik. Saling berbagi, saling memahami tidak saling menguasai. Dengan dideklarasikannya Majlis Dzikir Hubbul Wathan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 2017 semoga semakin memperkuat pilar empat, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 45, bukan sebaliknya, untuk kepentingan politik sekuler-liberal.

Sarang, 22 Syawwal 1438 H.

Minggu, 16 Juli 2017

PERPPU DAN DEMOKRASI

Tulisan Hendra Budiman di FB:

Beberapa kalangan bilang Perppu 2/2017 melanggar HAM dan demokrasi. Saya gagal paham atas penyataan ini. Bagaimana tidak?, ketika seseorang menyatakan pendapat itu, bukankah dia sudah menggunakan haknya: hak menyatakan pendapat. Hak yang dijamin konstitusi dalam negara yang mengakui HAM dan demokrasi. Dan ketika Perppu itu kemudian ditolak oleh DPR atau dinyatakan tidak punya kekuatan hukum oleh Mahkamah Konstitusi, bukankah saluran DPR dan MK adalah instrumen demokrasi? Lalu dimana wewenang absolut Presiden yang dituduhkan? Setiap warga negara bebas menyatakan menerima atau menolak. Itulah demokrasi. DPR sebagai wakil rakyat juga dapat menolaknya. Itulah demokrasi. Bahkan pihak berkepentingan bebas dan boleh menggugat melalui Mahkamah Konstitusi. Itulah demokrasi.

Coba bandingkan, jika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berhasil melakukan kudeta putih atas pemerintahan Indonesia. Mereka menolak demokrasi yang katanya produk barat yang sesat. Pikiran itu tertuang dalam (draft) konstitusi HT. Lalu bagaimana jika khalifah mengeluarkan aturan hukum, dan harus dianggap kebenaran tunggal. Warga tidak boleh menolaknya. Dan tidak ada saluran demokrasi seperti MK untuk mengujinya.

Indonesia pernah mengalami situasi seperti gambaran khilafah model HTI, dalam konteks penerbitan Perppu. Saat Presiden Soeharto berkuasa. Selama 32 tahun berkuasa, Presiden Soeharto telah menerbitkan 8 (delapan) Perppu. Tak satupun warga yang berani menolaknya, tak satupun anggota DPR menolaknya, dan tidak ada MK untuk mengujinya. Padahal jika ditelaah lebih jauh, materi Perppu jauh dari syarat pembentukan: kegentingan yang memaksa. Misalnya Perppu pertama saat Soeharto berkuasa: Perppu 1/1968 Tentang Tanda Kehormatan Bintang Kartika Eka Pakci. Diulang lagi tahun 1971, Perppu 2/1971 tentang Tanda Kehormatan Bintang Yudha Dharma. Dikaitkan dengan situasi saat itu, tidak ada relevansinya dengan “kegentingan yang memaksa”.  Tapi adakah yang berbeda pendapat? Ditolakkah oleh DPR? Saluran demokrasi macet total.

Atau jika diperbandingan saat Presiden Soekarno berkuasa. Ada 132 Perppu sejak tahun 1946 sampai 1967. Terbanyak 120 Perppu sepanjang tahun 1959 – 1967. Tidak satupun Perppu ditolak oleh KNIP atau DPR GR? Padahal tidak jelas dan pembeda antara Perppu dan PP saat itu.

Memasuki babak era reformasi, hak-hak warga negara dipulihkan. Instrumen HAM dan demokrasi dijamin, untuk menjaga pemerintahan tidak bersikap otoriter. Perppu 1/1999 yang diterbitan Presiden Habibie ditolak oleh DPR. Perppu tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Meskipun agak aneh. Materi Perppu ditolak tapi materi ini dipakai untuk membentuk UU No.26/2000. Lahinya Perppu ini atas desakan masyarakat setelah peristiwa Tragedi Semanggi.

Pun demikian penggunaan saluran Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu instrumen HAM dan demokrasi. Perppu pertama yang diuji adalah Perppu 4/2009 tentang KPK. Dimohonkan oleh 13 orang advokat. Keputusannya ditolak oleh MK dengan alasan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Tetapi kemudian Perppu ini ditolak oleh DPR. Dalam perkara lain, MK pertama kali mencabut Perppu No.1/2013. Perppu tentang MK disetujui oleh DPR dengan keluarnya UU No. 4 Tahun 2014 tapi kemudian UU ini dibatalkan oleh MK.

Jadi setelah era reformasi, sungguh tidak relevan mennyatakan bahwa Perppu menodai HAM dan demokrasi. Karena semua warga negara bebas dan berhak menyatakan pendapatnya: menerima atau menolak; DPR sebagai perwakilan rakyat, berhak menerima dan menolaknya; dan Mahkamah Konstitusi pun berhak menerima dan menolaknya.

Tetapi  sungguh memprihatinkan, HTI yang menolak demokrasi berteriak tentang pemerintahan yang tidak demokratis dan dalam perlawanannya menggunakan saluran demokrasi. Akal sehat saya tidak mampu menjangkaunya.

Minggu, 02 Juli 2017

MENULIS

Pada zaman dahulu, kita tidak wajib untuk belajar menulis. Tapi di zaman modern ini, apakah ada alasan meyakinkan untuk tidak perlu pintar menulis?

Di era digital, terlalu mudah untuk menciptakan gelombang viral positif maupun negatif. Belajar untuk menulis dalam skala hobby maupun kebutuhan akademis, itu sangat mudah untuk dilakukan... Search engine terlalu pintar untuk memunculkan berbagai contoh.

Jadi, mau tahu rahasia dunia kepenulisan dan jurnalistik?

Tulisan berkualitas ibarat virus, yang terus berkembang di sekitar para pembacanya. Menjadi magnet dalam mengembangkan ide cemerlang yang berada dalam kurungan. Mengeluarkan segala gagasan dengan penelitian tertentu. Melahap si kutu buku yang greget akan hausnya ilmu.

Seorang penulis adalah pembicara yang mampu menembus ruang dan waktu. Melahirkan mahakarya yang menggugah dunia. Membuka sejuta inspirasi bagi mereka yang cinta literasi.