Rabu, 30 Januari 2019

Bupati dan DPRD Lampung Tengah Kembali Ditetapkan KPK Jadi Tersangka

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (Foto: Ari Saputra/detikcom)

Jakarta KPK mengembangkan perkara suap di wilayah Kabupaten Lampung Tengah. Ada 7 orang tersangka yang ditetapkan KPK.

"KPK menetapkan 7 orang tersangka sejalan dengan peningkatan status penanganan perkara 3 perkara tersebut ke penyidikan," ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (30/1/2019).

Berikut rincian 3 perkara baru yang ditangani KPK:


1. Bupati Lampung Tengah Mustafa Terima Gratifikasi Rp 95 M

Mustafa diduga menerima fee dari ijon proyek di Dinas Bina Marga Pemkab Lampung Tengah dengan kisaran fee 10 persen hingga 20 persen dari nilai proyek. Total gratifikasi yang diterima Mustafa setidaknya Rp 95 miliar.

"Dari catatan penerimaan dan pengeluaran, uang senilai Rp 95 miliar tersebut diperoleh pada kurun waktu Mei 2017 hingga Februari 2018 dan dipergunakan untuk kepentingan MUS (Mustafa)," ucap Alexander.

Mustafa pun dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 KUHP.

2. Dua Pengusaha Suap Bupati Lampung Tengah

Selain itu, KPK juga menetapkan dua orang pengusaha yaitu Budi Winarto selaku pemilik PT Sorento Nusantara dan Simon Susilo sebagai pemilik PT Purna Arena Yudha. Keduanya diduga menyuap Mustafa.

"Diduga dari total Rp 95 miliar yang diterima MUS, sebagian dana berasal dari kedua pengusaha tersebut," ucap Alexander.

Dari kedua pengusaha itu, Mustafa diduga menerima Rp 12,5 miliar dengan rincian Rp 5 miliar dari Budi dan Rp 7,5 miliar dari Simon. Uang itu kemudian diberikan Mustafa ke anggota DPRD Kabupaten Lampung Tengah.

Budi dan Simon dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3. Empat Anggota DPRD Kabupaten Lampung Tengah Terima Suap

KPK juga menjerat 4 anggota DPRD Kabupaten Lampung Tengah sebagai tersangka yaitu Achmad Junaidi, Bunyana, Raden Zugiri, dan Zainudin. Achmad merupakan Ketua DPRD Kabupaten Lampung Tengah, sedangkan tiga orang lainnya adalah anggota.

"Keempatnya diduga menerima suap terkait dengan persetujuan pinjaman daerah dan pengesahan APBD dan APBDP," ucap Alexander.

Keempatnya dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Jalan Sunyi Jokowi Rebut Kembali Uang Negara dari Supersemar


Presiden Jokowi.

Jakarta - Negara memberikan kuasa kepada Presiden RI untuk merebut kembali uang yang diselewengkan Yayasan Supersemar. Setelah 11 tahun bertarung di pengadilan, perlahan uang negara yang diselewengkan ke perusahaan keluarga Cendana itu kembali.

Kasus bermula saat Presiden Soeharto mendirikan Yayasan Supersemar pada 16 Mei 1974. Tujuannya untuk membantu pendidikan Indonesia.

Dua tahun berselang, Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 15/1976 yang menentukan 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar. Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar mendapatkan uang sebesar USD 420 juta dan Rp 185 miliar.

Dalam perjalanannya, dana yang terkumpul bukannya untuk beasiswa, pembangunan gedung sekolah, kampus dkk, tapi malah diselewengkan ke bisnis keluarga Cendana dkk. Di antaranya yaitu:

1. PT Bank Duta USD 125 juta.
2. PT Bank Duta juga kembali diberi dana USD 19 juta.
3. PT Bank Duta kembali mendapat kucuran dana USD 275 juta.
4. Sempati Air sebesar Rp 13 miliar kurun 1989 hingga 1997.
5. Diberikan kepada PT Kiani Lestari sebesar Rp 150 miliar pada 13 November 1995.
6. Diberikan kepada PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri sebesar Rp 12 miliar pada 1982 hingga 1993.
7. Diberikan kepada kelompok usaha Kosgoro sebesar Rp 10 miliar pada 28 Desember 1993.

Sepanjang Soeharto menjabat, laporan keuangan Yayasan Supersemar tak tersentuh. Pasca lengser pada 1998, uang yang terkumpul itu mulai dibidik sebagai bagian amanat reformasi. 

Hingga pada 2007, Negara menggugat Yayasan Supersemar untuk mengembalikan dana yang diselewengkan. Gayung bersambut. Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI.

Vonis itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009. Setahun setelahnya, hakim agung Harifin Tumpa dengan anggota Rehngena Purba dan Dirwoto menguatkan vonis itu. Sayang, ada salah ketik di amar sehingga tak bisa dieksekusi. Seharusnya tertulis Rp 185 miliar, tetapi tertulis Rp 185.918.904. 

Jaksa Agung mengajukan PK atas kesalahan ketik itu. Pada Agustus 2015, MA memperbaiki salah ketik itu, menjadi:

"Menghukum Tergugat II (Yayasan Supersemar) untuk membayar kepada Penggugat (Republik Indonesia) sejumlah 75 persen x US $ 420.002.910,64 = US $ 315.002.183,00 dan 75 persen x Rp 185.918.048.904,75 = Rp139.438.536.678,56," putus ketua majelis Suwardi dengan anggota Mahdi Soroinda Nasution dan Sultoni Mohdally.

Namun cerita belum berakir. Yayasan Supersemar mengajukan perlawanan eksekusi pada 2016.

Pada 29 Juni 2016, PN Jaksel mengabulkan perlawanan eksekusi Yayasan Supersemar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar sudah menyalurkan dana pendidikan ke yang berhak.

Tapi pada 19 Oktober 2017, MA menolak perlawan eksekusi Yayasan Supersemar itu. Menurut MA, perlawanan eksekusi Yayasan Supersemar nebis in idem.

"Sehingga putusan perkara a quo nebis ini idem," ujar majelis dengan suara bulat.

Mengantongi putusan itu, Jaksa Agung mengajukan permohonan eksekusi. Perlahan, uang negara yang diselewengkan yayasan bisa diambil kembali.

"Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung RI, telah berhasil melaksanakan pemulihan keuangan Negara dari beberapa rekening deposito/giro/rekening milik Yayasan Supersemar/Yayasan Beasiswa Supersemar di bank dengan total keseluruhan sebesar Rp 241.870.290.793,62 yang saat ini berada di rekening Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan rekening RPL 175 PN," kata Kapuspenkum Kejagung, M Rum pada Maret 2018.

Langkah sunyi Jokowi tak sampai di situ. Diam-diam, lewat Jaksa Agung, ia terus menuntaskan kasus itu. Salah satunya meminta eksekusi tanah dan Gedung Granadi.

"Sudah lama (disita)," kata pejabat Humas PN Jaksel Achmad Guntur saat dihubungi Senin (19/11) lalu.

Selain gedung Granadi, yang terletak di Jl HR Rasuna Said, sejumlah aset lainnya disita terkait kasus Yayasan Supersemar, di antaranya tanah di Megamendung, Kampung Citalingkup, Bogor, seluas 8.120 meter persegi.

"Ada tanah di Megamendung dan rekening sama uangnya," sambung Guntur.

Lalu apa kata keluarga Cendana soal penyitaan aset Yayasan Supersemar? Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto menduga penyitaan gedung Granadi di Kuningan, Jaksel, berkaitan dengan dirinya yang vokal terhadap pemerintah. 

"Granadi itu ya, setiap kali saya bicara vokal ke pemerintah, selalu ada yang angkat mengenai penyitaan Granadi. Padahal ini cerita yang sudah beberapa bulan yang lalu," ujar Titiek di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (22/11/2018)