Sebagai organisasi Islam, NU memang terkesan lamat-lamat saja dalam mengkampanyekan solidaritas Palestina. Meski sebenarnya selama bertahun-tahun mereka tetap memperjuangkan Palestina dengan caranya sendiri.
Sejak delapan puluh tahun lalu, Nahdlatul Ulama sudah vokal menyuarakan nasib Palestina. Seperti dikisahkan Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013), Hoofdbestuur Nahdlatul Ulama mengeluarkan seruan kepada semua organisasi Islam di Hindia Belanda pada 1938.
Isinya: mendorong ormas-ormas Islam agar bersikap tegas terhadap apa yang dilakukan orang-orang Yahudi dan bahu-membahu menolong Palestina untuk memerdekakan diri dari kaum Zionis. Bila dibaca dari perspektif dekolonisasi, ini merupakan ungkapan yang agresif pada saat itu, mengingat Belanda masih berkuasa di sini.
NU juga membentuk Palestine Fonds (Dana Palestina) untuk mengumpulkan sumbangan dari seluruh Hindia Belanda dan menjadikan tanggal 27 Rajab (peringatan Isra Mi’raj) sebagai “Pekan Rajabiyah” untuk mendorong pembebasan Palestina.
Yang menarik, NU menginstruksikan kepada seluruh warga Nahdliyin dan umat Islam agar membaca Qunut Nazilah pada setiap salat wajib yang ditujukan kepada Palestina. Qunut Nazilah adalah doa khusus yang diselipkan setelah rukuk apabila terjadi situasi genting atau terjadi bencana.
Dalam menyikapi situasi di Palestina, Qunut Nazilah mempunyai makna politik sebagai tanda dukungan terhadap kemerdekaan bangsa Palestina sekaligus bentuk protes terhadap kesewenang-wenangan Israel.
Pemerintah kolonial paham kandungan politis dari doa tersebut dan khawatir ia bisa mengganggu ketertiban. Mereka pun melarang NU melakukannya. Gara-gara itu, Ketua Hoofdbestuur Nahdlatul Ulama Mahfudz Shiddiq sempat dipanggil oleh pejabat Hoofdparket (Kejaksaan) untuk dimintai keterangan.
Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari kemudian melakukan klarifikasi pada saat Muktamar 1939 dilaksanakan. Pada pidato pembukaan, ia menyatakan Qunut Nazilah warga NU bukan untuk menghina umat lain seperti yang dituduhkan, tapi semata-mata kewajiban sebagai sesama umat Islam untuk menunjukkan solidaritasnya. Hal itu adalah perintah Nabi Muhammad kepada tiap umatnya ketika menghadapi bencana.
Sejak saat itu, NU gigih memperjuangkan Palestina sampai tiba masanya ketika cucu Sang Rais Akbar memimpin organisasi ini. Sejak Gus Dur memimpin NU pada 1984, isu Palestina sebenarnya mendapat porsi besar di tubuh kaum Nahdliyin. Sebelum menjabat Ketua Umum PBNU, Gus Dur memang dikenal sebagai salah satu tokoh Indonesia yang aktif menyuarakan isu-isu pembebasan Palestina. Acara pembacaan puisi di TIM pada 1982 yang digagas Gus Dur adalah salah satu buktinya.
Kesan pro-Palestina Gus Dur memang agak tertutupi oleh langkah-langkah kontroversialnya yang memicu tuduhan bahwa ia pro-Israel. Gus Dur pernah menjadi anggota The Peres Center for Peace and Innovation, yayasan perdamaian yang didirikan oleh bekas presiden Israel Shimon Peres. Pada awal 1990-an, Gus Dur juga melontarkan pernyataan bahwa suatu hari Indonesia harus mengakui negara Israel dan membuka hubungan diplomatik dengannya.
Tapi toh itu tidak pernah mengurangi sedikit pun solidaritas Gus Dur terhadap Palestina. Djohan Effendi menceritakan dalam Damai Bersama Gus Dur (2012) bahwa Gus Dur tersentuh hatinya ketika berkunjung ke Israel dan menemui rakyat di kedua kubu yang bertikai. Ia bertemu dengan orang Yahudi dan warga Palestina, yang Islam maupun Kristen.
Kedua pihak sebenarnya menginginkan perdamaian. Mereka mengatakan pada Gus Dur: “Hanya mereka yang berada dalam keadaan perang yang tahu persis apa makna damai.” Dari situlah Gus Dur mulai mewacanakan perlunya win-win solution bagi Palestina dan Israel.
Inilah yang kemudian menjadi landasan kebijakan PBNU masa Gus Dur dalam menyikapi konflik Palestina-Israel. Solusi moderat ini memang terkesan mendua dan tidak tegas bagi kalangan Islam yang lantang menyuarakan Israel harus enyah sama sekali dari tanah Palestina. Namun, dengan pertimbangan realitas politik dan faktor kemanusiaan, Gus Dur lebih memilih jalan tengah.
Setelah masa Gus Dur lewat, NU tetap konsisten memperjuangkan Palestina. Tak terhitung jumlah pernyataan, press release, dan seruan yang datang dari PBNU soal nasib Palestina.
Namun, yang paling menonjol adalah isu Palestina ini menjadi salah satu keputusan muktamar NU ke-33 di Jombang pada 2015. Komisi Rekomendasi Muktamar secara khusus merumuskan rekomendasi konkret yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait baik PBNU, pemerintah, maupun lembaga internasional seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan PBB.
Secara tegas, PBNU juga mendukung kemerdekaan Palestina. Ini sekaligus menjadi amanat dan sikap resmi PBNU dalam menyikapi konflik Israel-Palestina.
Sehari setelah insiden detektor logam meletus (26/7), Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini menyerukan agar negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB harus memberi perlindungan secepatnya kepada Palestina. Baginya, perlindungan tersebut bisa menepis anggapan miring bahwa PBB cenderung mengabaikan Palestina.
PBNU sendiri melakukan tindakan nyata dengan membentuk Komite Kemanusiaan dan Kemerdekaan Palestina (K3P) untuk membantu menangani krisis kemanusiaan di sana. “Tugas K3P ini selain memperjuangkan keselamatan dan hak rakyat Palestina, juga menggalang solidaritas dunia untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan Palestina,” terang Helmy.
Lewat pernyataan tersebut, Helmy juga mengaskan sekali lagi posisi NU dalam menyikapi konflik Israel-Palestina bahwa apa yang terjadi di tanah para nabi itu bukan pertikaian agama, melainkan persolalan kemanusiaan. Katanya, “Kami memandang apa yang terjadi di Palestina adalah krisis kemanusiaan. Maka yang digalang komite ini bukan hanya sebatas ukhuwah Islamiyah tapi lebih dari itu adalah ukhuwah insaniyah, persaudaraan kemanusiaan.”
Sekarang tahu kan sejak Zaman Kolonial, NU sudah menunjukkan solidaritas terhadap Palestina. Dan hingga sekarang NU tetap tegas dan konsisten bela Palestina.