Calon Presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, menyampaikan pidato kebangsaan bertajuk "Indonesia Menang" di JCC Plenary Hall, Jakarta, Senin (14/1/2019) malam. Visi-misi dan lima fokus programnya itu dipaparkan dalam pidato tersebut.
Dalam pidato tersebut, Prabowo juga menyoroti sejumlah persoalan dan mengaku prihatin dengan kondisi Indonesia hari ini. Secara umum, menurut Prabowo, kondisi Indonesia saat ini sedang terpuruk, terbelakang, dan tidak ideal sebagaimana cita-cita pendiri bangsa Indonesia.
Ia pun ingin mengubah kondisi keterpurukan ini, bila dipilih rakyat. Namun sayangnya, sebagaimana yang terjadi berkali-kali, masih banyak pernyataan Prabowo yang tak berdasarkan data.
Beberapa hal yang disampaikannya itu lebih pada upaya mengaduk emosi pendengarnya, dibandingkan memaparkan kebenaran.
Cek Fakta Pidato Prabowo
Pertama, dalam pidatonya Prabowo membeberkan keprihatinannya soal stunding yang menghinggapi anak-anak di Indonesia. Katanya, satu dari tiga anak di Indonesia mengalami stunting.
"Indonesia negara yang dari 1 dari 3 anak di bawah 5 tahun gagal tumbuh karena kurang protein, kurang gizi," kata Prabowo.
Angka stunting di Indonesia memang masih tinggi. Tetapi itu merupakan kondisi yang sudah bertahan berpuluh-puluh tahun. Namun bila diperiksa dengan seksama, dalam lima tahun terakhir terdapat penurunan angka stunting yang cukup signifikan.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018, diketahui prevalansi stunting di Indonesia mencapai sebesar 30,8%. Angka ini menurun cukup tajam bila dibandingkan tahun 2013 lalu yang mencapai 37,2 %. Artinya, ada penurunan sebesar 6,4 persen dari lima tahun terakhir.
Sedangkan, proporsi status gizi buruk dan gizi kurang juga turun, dari 19,6% (Riskesdas 2013) menjadi 17,7%. Dengan demikian, bisa dikatakan ada perbaikan di bidang penanganan stunting dan gizi buruk dalam beberapa tahun terakhir ini.
Kedua, Prabowo juga mengungkapkan, keprihatinannya soal angka bunuh diri di Indonesia yang begitu tinggi. Meski ia tak menyebutkan angka pasti.
"Dalam negara yang begini kaya, 73 tahun merdeka, ada rakyat bunuh diri karena kelaparan ini adalah penghinaan," kata Prabowo.
Berdasarkan data WHO tahun 2017, angka bunuh diri di Indonesia mencapai 7,355 kasus atau setara dengan 3 kasus per 100.000 orang. Jumlah itu menyumbang 0,44 persen kasus kematian secara keseluruhan di Indonesia.
Bila dibandingkan dengan pernyataan Prabowo itu, maka bisa disimpulkan sangat berlebihan. Kasus bunuh diri bukanlah fenomena massal dan skala luas. Bila ada, itu pun jumlah kasusnya sangat kecil.
Ketiga, Prabowo juga menyoroti pertanian. Secara spesifik, ia menyebut kesedihan petani tebu karena pemerintah Indonesia banyak mengimpor gula.
"Saya juga baru baru ini dari Jawa Timur petani tebu yang sedih karena saat panen banjir gula dari luar negeri," ungkap Prabowo dengan berapi-api.
Selain itu, dia juga menyinggung harga-harga kebutuhan pokok yang tidak terkendali. "Harga telur, daging, dan beras sudah berat dirasakan rakyat. Bagaimana bisa di republik ini harga gula 3 kali lebih mahal dari harga dunia?" ungkap Prabowo.
Bila diperiksa seksama, apa yang disampaikan Prabowo itu terlihat tidak konsisten. Dia membandingkan petani yang sedih karena pasokan berlebih, tetapi di saat bersamaan menyampaikan harga komditas itu naik.
Padahal, secara logika, bila pasokan berlebih maka harusnya harga komoditas itu akan turun. Itu adalah hukum dasar dari supply-demand dari pasar. Dengan demikian, terdapat ketidak konsistenan logika dari Prabowo.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan dari 2013 hingga 2017 memang ada kenaikan impor gula. Dari USD 1.983,2 juta pada tahun 2013 meningkat hingga USD 2.361 juta pada 2017.
Namun, secara umum harga komoditas pangan stabil. Berdasarkan data Kemendag, sepanjang tahun 2018 tak ada kenaikan harga pangan yang signifikan.
Harga cenderung stabil karena inflasi yang cukup rendah. Menurut catatan BPS, sepanjang 2018 inflasi tercatat 3,13%, angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan inflasi periode 2017 yang sebesar 3,61%.
Dengan target sebesar 3,5% inflasi tahun 2018 berada di bawah target, dan tentunya kita berharap 2019 ini harga barang makanan dan segala kebutuhan bisa stabil dan inflasi berada di bawah target.
Keempat, Prabowo Subianto menyinggung gaji sebagian dokter yang lebih kecil dari juru parkir (jukir) di DKI Jakarta. Ia pun menjanjikan kenaikan gaji bagi dokter, polisi, hakim, dan jabatan lainnya.
"Sekarang banyak dokter kita gajinya lebih kecil dari tukang jaga parkir mobil," kata Prabowo.
Perbandingan Prabowo ini sebenarnya sangat bias data. Karena dia mengabaikan jenjang karier dan UMR tiap daerah yang berbeda. Bila dipukul rata, maka hasilnya tentu tidap tepat.
Misalnya, dokter umum yang baru lulus di Madiun, Jawa Timur dengan golongan IIIA tentu memiliki gaji yang lebih rendah dari juru pakir di DKI Jakarta. Sebab, UMP DKI pada 2019 sebesar Rp 3.940.973.
Sedangkan, dokter umum golongan IIIA di Madiun mengantongi gaji pokok Rp2,4 juta per bulan. Ditambah penghasilan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sekitar Rp500 ribu. Kemudian ditambah insentif lainnya, sehingga penghasilannya bisa mencapai 3,5 juta per bulan. Sedangkan, UMP di Madiun 'hanya' 1,6 juta per bulan.
Kemudian, berdasarkan Perpres Nomor 4 Tahun 2017 pemerintah pusat memberikan insentif gaji dalam rentang Rp23-30 juta per bulan kepada dokter spesialis yang ditugaskan menjalankan program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) di seluruh daerah Indonesia.
Dengan penghasilan seperti itu, dokter sebenarnya adalah salah satu profesi dengan penghasilan terbesar di Indonesia. Penilaian Prabowo di atas, sebenarnya perlu didukung riset lebih tajam lagi.
Pelintir Data, Upaya Mengaduk Sentimen dan Emosi?
Dari pemeriksaan di atas, dapat dikatakan bahwa isi pidato Prabowo lebih banyak mengaduk sentimen dan emosi pendengarnya dibandingkan menyampaikan kebenaran yang berdasarkan data dan fakta.
Apa yang disampaikannya tersebut, tentu saja, hanya demi mendongkrak simpati dan elektabilitasnya menjelang Pemilihan Presiden saja. Dalam politik, taktik seperti ini bukanlah hal baru.
Melalui pidato itu, Prabowo mengandalkan stategi "our brand is crisis" alias melihat kondisi negara dalam kacamata krisis. Kemudian, Prabowo ingin menampilkan diri sebagai juru selamat.
Penggambaran situasi seperti itu mengingatkan kita pada pidato Donald Trump. Prabowo terlihat berupaya menjiplak Donald Trump dalam Pemilu AS dengan mengaduk-aduk sentimen dan emosi. Dengan mengangkat contoh-contoh dramatis tapi tidak disertai data dan fakta yang akurat.
Bila nanti kebohongan atau pemelintiran data itu ketahuan, maka akan minta maaf, berikutnya akan mengulangi lagi. Strategi ini secara keseluruhan disebut dengan "firehose of falsehood".
Strategi itu yang terbukti telah memenangkan Presiden Donald Trump di Amerika dan Jari Bolsonaro di Brazil. Strategi ini pula yang tampaknya ditiru oleh Prabowo Subianto di Indonesia.