Senin, 19 Juni 2017

KEPEMILIKAN SENJATA TAJAM

KEPEMILIKAN SENJATA TAJAM

Kepemilikan senjata tajam diatur dalam UU Darurat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (Stbl. 1948 No. 17) dan Undang-Undang Repubik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 (“UU Darurat Senjata”), yaitu:
(1)  Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
(2)  Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk dalam pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk dipergunakan guna pertanian, atau untuk pekerjaan2 rumah tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan syah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaardigheid).
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan senjata pemukul, penikam atau senjata penusuk (“Senjata Tajam”) secara tanpa hak. Dalam prakteknya di lapangan, polisi akan menangkap org yg ketahuan membawa keris sbg benda pusaka, pdhal sdh jelas2 dikecualikan menurut UU. Mmg karena keris sdh diakui secara internasional sbg warisan budaya Indonesia, sdh seharusnya lembaga perkerisan tingkat nasional yaitu SNKI levelnya sdh harus ditetapkan dgn UU. Kalo tidak selamanya org yg membawa keris di jalan (walaupun sebenarnya tdk melanggar UU) dianggap melanggar hukum oleh pihak kepolisian.

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA

FULL DAY SCOOL

*Menimbang Aspirasi Masyarakat soal Sekolah Lima Hari, Presiden Menata Ulang Regulasi*

Presiden Joko Widodo akan menata ulang Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang mengatur tentang kegiatan belajar mengajar lima hari. Hal itu sebagai respons atas aspirasi yang berkembang di masyarakat mengenai model pendidikan di Indonesia. Demikian disampaikan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Ma'ruf Amin, di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, 19 Juni 2017.

"Presiden akan melakukan penataan ulang terhadap aturan itu dan juga akan meningkatkan regulasinya dari yang semula Peraturan Menteri (Permen), mungkin akan ditingkatkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres)," ujarnya.

Penataan ulang terhadap aturan itu nantinya akan melibatkan sejumlah menteri terkait dan juga masyarakat sehingga apa yang diinginkan oleh masyarakat dapat dituangkan dalam aturan yang akan dibuat itu.

"Di dalam penyusunannya akan melibatkan selain menteri-menteri terkait seperti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, mungkin juga ada kaitannya dengan Menteri Dalam Negeri, juga akan melibatkan nanti ormas-ormas Islam termasuk melibatkan MUI, NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas yang lain," ucapnya.

Adapun persoalan yang dibahas dalam aturan tersebut diharapkan tidak lagi hanya mengatur waktu atau lamanya pembelajaran saja, tapi juga secara menyeluruh.

"Diharapkan bahwa peraturan itu menyeluruh, komprehensif dan bisa menampung aspirasi-aspirasi yang berkembang di masyarakat," tutur K.H. Ma'ruf Amin.

Pemerintah juga berkomitmen untuk melakukan penguatan karakter para pelajar Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menangkal kemungkinan berkembangnya paham-paham radikalisme.

"Mungkin judulnya akan diganti bukan lima hari sekolah (LHS) tetapi mungkin yaitu pendidikan penguatan karakter," ucap Ma'ruf Amin.

Dirinya pun berharap peraturan tersebut akan segera diselesaikan sehingga keharmonisan di masyarakat kembali tercipta.

"Mudah-mudahan tidak terlalu lama Perpres ini akan bisa dihasilkan dan suasana akan menjadi harmoni, tenang, dan tidak ada masalah lagi," ujar Ma'ruf Amin.

Untuk diketahui, K.H. Ma'ruf Amin siang ini bertemu dengan Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di Istana Merdeka, Jakarta.

Jakarta, 19 Juni 2017
Kepala Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden

Bey Machmudin

KORUPSI MENGEPUNG DARI DESA

Tulisan yang menarik

Korupsi Mengepung Desa
Ade Irawan
19 Juni 2017

Korupsi sudah merambah pengelolaan dana desa. Program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menjadi sasaran.

Apabila tidak ada upaya serius untuk mengantisipasi, bukan peningkatan kesejahteraan yang terwujud, melainkan pemerataan korupsi hingga ke pelosok desa.

Melalui kebijakan dana desa, perekonomian dan kesejahteraan masyarakat diharapkan bisa meningkat. Alokasi anggaran yang disediakan pemerintah pun terus bertambah. Pada 2017, total dana desa dari APBN sebesar Rp 60 triliun, bertambah Rp 13,1 triliun daripada tahun sebelumnya. Jika dibagi rata, tiap desa setidaknya akan mengelola uang sebesar Rp 800 juta.

Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017, uang yang diterima pemerintah desa harus digunakan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Di antaranya pengembangan dan perbaikan infrastruktur, prasarana ekonomi, dan pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan perempuan dan anak.

Jika digunakan sesuai aturan, cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa semestinya bisa segera terwujud. Namun, sayangnya, peningkatan alokasi dana desa ternyata malah diiringi peningkatan korupsi. Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, mengatakan, laporan penyelewengan dana desa sangat tinggi. Sampai akhir 2016 saja, KPK menerima 300 laporan masyarakat soal dugaan penyelewengan dana desa.

Begitu juga hasil kajian Indonesia Corruption Watch. Dalam tren penanganan kasus korupsi 2016, kasus penyimpangan dana desa mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Kasus itu berada di urutan ketiga kasus yang paling banyak ditangani oleh aparat penegak hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian. Dua kasus di atasnya adalah keuangan daerah dan dana pendidikan.

Modus korupsi

Paling tidak ada 48 kasus korupsi dana desa yang sudah masuk dalam tahap penyidikan di kepolisian dan kejaksaan. Kasus menyebar di 16 provinsi, antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Jumlah tersangka mencapai 61 orang. Sebagian besar merupakan perangkat desa, terutama kepala desa.

Dari sisi modus, korupsi dana desa umumnya sangat sederhana. Para pelaku masih menggunakan cara-cara lama, seperti markup proyek, penggelapan, kegiatan atau program fiktif, dan pemotongan anggaran. Modus-modus tersebut tidak memerlukan teknik yang canggih.

Sebagai contoh, program pembangunan dan pengadaan barang. Pelaku menyiasati dengan membuat rencana anggaran biaya yang jauh lebih mahal dibandingkan standar teknis pembangunan. Cara lain, mengurangi volume pekerjaan dan membeli barang yang spesifikasinya lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan dalam rencana anggaran.

Dalam program-program pemberdayaan, modus yang sering digunakan adalah membuat kegiatan-kegiatan fiktif: ada dalam pertanggungjawaban keuangan, tetapi tidak ada kegiatan atau barangnya. Kalaupun ada kegiatan, jumlah peserta dan durasi waktu riil jauh lebih sedikit dibandingkan dalam laporan pertanggungjawaban. Temuan lain, pemotongan honorarium untuk kader desa atau guru mengaji.

Ada beberapa faktor yang membuat para pelaku bisa begitu mudah menyelewengkan dana desa. Pertama, monopoli anggaran. Dominasi penyelenggara desa dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran desa masih sangat besar. Hanya mereka yang mengetahui rincian anggaran dan kegiatan. Akibatnya, walau mereka memanipulasi, markup, mengubah spesifikasi barang, atau menyunat anggaran, tidak akan ada yang tahu dan protes.

Kedua, kemauan dan kemampuan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan dan pengawasan masih lemah. Banyak yang tidak tahu ada dana desa dan tujuan penggunaannya. Ada pula yang menganggap penyusunan dan pengawasan bukan urusan mereka. Kalaupun ada yang memiliki kemauan, hal itu tidak ditunjang oleh kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan ataupun pengawasan, seperti cara-cara menyusun anggaran dan mengawasi pelaksaan proyek.

Ketiga, tekanan struktur. Pelaku korupsi dana desa bukan hanya perangkat desa. Dalam beberapa kasus, perangkat kecamatan pun turut terlibat. Mereka biasanya menggunakan kewenangan memverifikasi anggaran, rencana pembangunan jangka menengah desa, dan laporan pertanggungjawaban untuk mendapat setoran atau tanda terima kasih dari penyelenggara desa.

Selain itu, ada pula kasus korupsi dana desa yang terjadi karena faktor teknis. Para penyelenggara desa tidak memiliki rencana melakukan penyelewengan. Mereka terjebak korupsi karena tidak memahami aturan dan prosedur penganggaran ataupun penggunaan anggaran.

Korupsi dana desa menyebabkan hilang atau berkurangnya modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program yang semestinya bisa menjawab berbagai masalah klasik di desa, seperti infrastruktur yang buruk dan sulitnya akses masyarakat terhadap modal ekonomi, bisa terancam gagal.

Tidak hanya itu, korupsi pun menghambat penguatan demokrasi di desa. Proses demokrasi dalam penganggaran tidak berjalan karena penyelenggara desa menutup ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dan melakukan pengawasan. Prinsip dasarnya: semakin tertutup, semakin besar ruang bagi mereka untuk melakukan penyimpangan, sekalipun anggaran tidak mencerminkan aspirasi semua pemangku kepentingan desa.

Penguatan pendampingan

Langkah strategis mencegah agar korupsi tak makin menyebar sangat sederhana, yaitu memperkuat demokrasi dan tata kelola keuangan desa. Proses penyusunan rencana kegiatan dan anggaran dilakukan secara partisipatif sehingga mengakomodasi masalah dan kebutuhan semua pemangku kepentingan desa. Implementasi dan pertanggungjawabannya pun terbuka sehingga semua orang bisa mengawal.

Syarat agar kondisi tersebut terwujud adalah perangkat desa dan masyarakat sama-sama punya pengetahuan dan keterampilan dalam penyusunan rencana program dan anggaran. Pendamping desa bisa menjalankan tugas penting itu. Selama ini, mereka lebih banyak fokus mendampingi perangkat desa. Selain itu, posisi tawarnya pun lemah dan banyak yang hanya berperan sebagai penasihat kepala desa. Pada akhirnya, keberadaan pendamping desa tak jauh beda dengan komite sekolah: hanya jadi tukang stempel kepala sekolah.

Penguatan kapasitas, posisi, dan peran pendamping desa menjadi kebutuhan mendesak. Hal penting lain adalah memperbaiki proses perekrutan dengan menghentikan politisasi dan “jatah-jatahan” pendamping. Seleksi harus mengutamakan kapasitas dan integritas sehingga mereka yang terpilih tidak hanya independen, tetapi juga memiliki kapasitas untuk mendampingi dan menjadi jembatan masyarakat dengan perangkat desa.

Apabila demokrasi dan tata kelola keuangan desa berjalan baik, pemerintah tidak perlu repot-repot mengajak KPK untuk menakut-nakuti para penyelenggara desa agar tidak korupsi. Sebab, korupsi dengan sendirinya akan berkurang. Cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa pun bisa segera terwujud.

Ade Irawan - Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch