*Bodo Kupat*
Wakil sekretaris NU Kutai Timur
_Kembang waru_
_Perawane isih do turu!_
_Kembang turi_
_Kupate kurang isi!_
Sepenggal parikan lagu di atas merupakan bentuk parikan yang biasanya dinyanyikan setelah anak-anak keluar dari rumah ke rumah pada bancaan (tasyakuran) bodo kupat di kampung.
Sebuah tradisi yang tidak dilupakan di kampung nelayan Pati Jawa - Tengah adalah bodo kupatan (lebaran kupat). Tradisi bodo kupatan ini bertepatan dengan 1 minggu setelah Idul Fitri atau bertepatan dengan delapan Syawal.
Tujuan diadakannya bodo kupatan ini adalah bentuk syukur masyarakat pesisir pantai utara Jawa, setelah satu bulan lamanya melaksanakan puasa romadhon yang diakhiri dengan bodo cilik (idul fitri), kemudian disambung dengan puasa sunnah 6 hari pada bulan syawal dan diakhiri dengan bodo kupat.
Dua atau tiga hari sebelum bodo kupat, di pasar tradisional kampung saya banyak orang berjualan kupat yang belum diisi dengan beras. Menurut peneliti islam nusantara M. Rikza Chamami yang juga dosen IAIN Walisongo mengungkapkan bahwa tradisi pembuatan kupat seharusnya dibuat oleh seorang laki-laki, bahkan ada intimidasi bagi laki-laki yang tidak bisa membuat kupat maka akan dimakan oleh buto ijo.
Dalam tradisi kupatan tidak hanya kupat saja yang disediakan tetapi juga digabung dengan lepet. Menurut sejarahnya kupat diartikan dengan *ngaku lepat* sementara lepet memiliki arti *silep sing rapet*. Bungkusnya kupat dan lepet berasal dari janur, merupakan daun pohon kelapa yang masih muda, janur sendiri memiliki arti "jaa nur" telah datang cahaya.
Di kampung saya pada pelaksanaan bodo kupat dan setelah shalat subuh, maka rombongan anak-anak kecil akan mengelilingi kampung dari rumah ke rumah untuk melaksanakan doa bersama (bancakan) di rumah yang dikunjungi oleh anak-anak tersebut.
Biasanya tuan rumah akan menyiapkan beberapa nampan berisi kupat dan lepet sesuai dengan maisyah (dalan pangan) yang dimilikinya dan satu nampan untuk nenek moyang yang telah meninggal.
Keluarga saya biasanya menyiapkan beberapa nampan, saya hitung kurang lebih 5 nampan. Satu nampan untuk jalan pangan berupa perahu kapal, satu nampan untuk tambak, satu nampan untuk bakulan (jualan) Ibu, satu nampan untuk keluarga yang masih hidup, dan satu nampan untuk nenek moyang yang telah meninggal.
Bahkan bapak saya akan menyuruh saya menaruh satu ikatan berupa kupat dan lepet untuk ditaruh di perahu, satu ikat ditaruh di tambak, satu ikat ditaruh di rumah, dan satu ikat ditaruh di dekat makam (pesarean) kampung.
Siang harinya, warga Kampung biasanya refreshing dan berwisata bersama keluarga ke berapa beberapa tempat wisata yang dituju. Ada yang berwisata ke Pulau Marongan dan Pulo Gede (sebuah pulau yang berada di utara Rembang), dan ada pula yang berwisata di beberapa daerah wisata Rembang, Lasem, dan Bonang.
Begitulah indahnya tradisi Islam di kampung dan Islam nusantara yang ada di masyarakat Indonesia. Tugas saya dan Anda adalah menjaga tradisi itu agar tetap lestari, sehingga anak cucu kita akan menikmati indahnya simbol-simbol tradisi yang sebenarnya itu merupakan bentuk-bentuk ungkapan syukur seorang hamba kepada Tuhannya.
Sangatta, 2 Juli 2017 bertepatan 8 Syawal 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan komentar yang baik