Sabtu, 14 Juli 2018

Sudut Pandang Sejarah Berdirinya Nahdlotul Ulama


JejakNUsantara- Nahdlotul Ulama didirikan bertepatan pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertempat di Surabaya dikediaman KH. Wahab Hasbullah, pada saat itu para Ulama atau Kiai mengadakan pertemuan, diantara ulama yang hadir pada pertemuan itu adalah KH Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Sansuri, KH. Ridlwan Abdullah, KH Asnawi, KH. Ma’sum, KH. Nawawi, KH. Nahrowi, KH. Alwi Abdul Aziz Surabaya dan lain sebagianya. Dalam pertemuan tersebut menghasilakan beberapa keputusan penting salah satunya adalah membentuk Jam’iyyah sebagai wadah persatuan para Ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (Kejayaan Islam dan Muslimin), Jam’iyah ini diberi nama Nahdlatoel Oelama (NO) atau Nahdlatul Ulama (dalam ejaan yang disempurnakan). Tujuan jamiyah ini secara sigkat adalah membina terwujudnya masyarakat Islam berdasarkan akidah Ahlussunnah wal Jamaah.

Banyak buku yang menerangkan tentang latar belakang berdirinya Nahdlotul Ulama, dalam kaca mata para penulis Barat dan Indonesia dalam menulis sejarah NU didominasi dengan kajian modernis. Selian itu juga ada beberpa pandangan yang dimaktub dalam beberapa buku yag ditulis oleh kaum tradisioanalis tentang sejarah berdirinya NU itu sendiri. Dalam kajian modernis, misalkan Deliar Noer mengatakan bahwa NU sebagai gerbong perlawanan terhadap pembaharu Islam. NU adalah perluasan dari tujauan Komite Hijaz yang mana merupakan bentuk perlawanan terhadap Komite Khilafat yang didominasi oleh kaum modernis.

Munculnya komite khilafat dilatarbelakangi oleh terjadinya guncangan Daulat Turki Utsmani semenjak perang dunia I  berahir, karena adanya perebuatan kekuasaan oleh Kaum nasionalis Turki yang dipimpin oleh Mustofa Kamal Pasha. Pada tahu 1922 Majelis Raya Turki mulai menghilangkan kekuasaan Sultan diganti dengan negara Republik dan pada ahirnya majelis ini memberangus khilafat pada kepemimpinan Khalifah Abdul Majid. Peristiwa ini menjadi perhatian dunai Islam salah satunya adalah Indonesia. Masyarakat muslim Indonesia membentuk Komite Khilafat yang merupakan representasi dari organisasi-organisasi Islam yang akan mengikuti kongres tentang khilafat di Mesir pada bulan Maret 1924. Komite Khilafat ini dibentuk di Surabaya pada 04 Oktober 1924 ditunjuk sebagai ketua Wondoamiseno (Serikat Islam) dan wakilnya KH. Wahab Hasbullah. Pada kongres Al-Islam yang ketiga menyepakati untuk mengirim delegasi ke acara Kongres khilafat di Kairo Mesir yang beranggotakan Suryopranoto (Serikat Islam), Haji Fachrudin (Muhammadiyah) dan KH. Wahab Hasbullah (kaum tradisional).

Dalam perjalananya, Kongres Khilafat ditunda karena dunia Islam tertuju kepada perkembagnan di Hijaz yaitu Ibnu Saud berhasil menggulingkan kekuaaan Syarif Husain di Makkah (1924). Ibnu Saud yang berfaham Wahabi tersebut melakukan pembersihan praktek-praktek beragaama yang tidak sesuai dengan faham wahabi. Kebijakan Ibnu Saud tersebut mendapat respon baik dari kalangan modernis yang ada di Indonesia. Pada Kongres Al Islam keempat di Yogyakarta 21-27 Agustus 1925 dan Kongres Al-Islam kelima di Bandung membahas undangan raja Ibnu Saud kepada umat Islam di Indonesia untuk menghadiri Kongres di Mekkah. Dalam kongres-kongres tersebut kalangan modernis sangat mendominasi, bahkan sebelum kongres di Bandung diceritakan kalangan modernis sudah mengadakan pertemuan 8-10 Januari 1926 yang salah satu keputusannya menetapkan HOS Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan KH. Mas Mansur dari Muhamadiyah sebagai utusan unuk menghadiri kongres di Makkah.

KH. Wahab Hasbullah dari kalangann tradisionalis mengajukan usulan terkait aspirasi Islam Tradisional agar Raja Ibnu Saud menghormati tradisi keagamaan seperti ziarah kubur, membaca doa-doa, ajaran mazhab dan tradisi yang telah mengakar di Makkah dan Madinah. Tetapi usulan tersebut dikesampingkan oleh kaum modernis. Ahirnya KH. Wahab Hasbullah dan tiga orang pengikutnya meninggalkan kongres (walk-out). Dan membuat inisatif untuk mengadakan rapat dengan ulama-ulama senior dari Surabaya. Pada rapat berikutnya di hadiri oleh ulama-ulama dari beragai daerah di Jawa dan menyepakati untuk membuat komite Hijaz yang pada perjalannya diubah namanya menjadi Nahdlotul Ulama.

Menurut sebagian pakar seperti Deliar Noer mengatakan bahwa yang melatarbelakangi lahirnya NU secara spesifik  adalah kekecewaan kaum tradisionalis yang tidak terakomodir dalam komite khilafat yang akan mewakili umat Islam Indonesia diacara Kongres di Makkah tahun 1926, namun ada beberapa pakar yang melihat lebih jauh lagi bahwa cika bakal  berdirinya NU sudah ada ketika arus Islam Modernis yang dipengarui oleh pemikiran Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh mulai masuk ke Indonesia yang ada di Sumatera Barat dan menjalar ke wilayah lain seperti Jawa.

Pada awala abad ke 20 menurut Andre Feillard dalam kurun waktu sepuluh Tahun ada seorang yang sedang dinamis yaitu KH. Wahab Hasbullah yang mengorganisir kaum Islam Tradisionalis dengan dukungan KH Hasyim Asy’ari. KH Wahab Hasbulah pada 1916 bersama KH. Mas Mansur dan HOS Tjokroaminto, Raden Pandji Soeroso, Soendjoto dan KH. Abdul Kohar mendirikan perguruan Nahdlatul Wathan di kampung Kawatan Gang IV Surabaya, Perguruan ini memiliki tujuan mendidik kader-kader muda dan membangun semangat nasionalisme. Dalam perjalannya menjadi tempat pengkaderan remaja Islam yang kemudian disebut Jamiyah Nashihin. Ada beberapa Cabang Nahdlatul Wathan diantaranya di Semarang, Malang, Sidarjo, Gresik, Lawang, Pasuruan dan lain-lain.

KH. Wahab Hasbullah juga mengakomodir para pedagang dengan mendirikan koperasi pedagang yang bernama Nahdlatut Tujar pada tahun 1919. Selain itu juga KH. Wahab Hasbulllah bersama KH. Ahmd Dahlan Achyad (Pondok Kebondalem) juga membentuk madrasah dengan nama Taswirul Afkar yang mempunyai tujuan utama yaitu menyiapkan tempat bagi anak-anak utuk mengaji dan belajar lalu ditujukan untuk membela kepentingan Islam tradisionalis. Catatan Feillard sedikit mengoreksi bahwa alur wacana penulisan Barat maupun modernis yang hanya melihat sejarah kelahiran NU dalam konteks yang sempit. Tidak menafikan persaingan antara Islam Modernis dan Tradisionalis tetapi ini menggambarkan sejarah dan latar belakang lahiryna NU yang panjang, dimana KH. Wahab Hasbullah adalah tokoh penting dalam sejarah berdirinya NU yang berperan sebagai aktor intelektual sekaligus pengerak dan fasilitator dalam pendirian organisasi NU. Selain itu ada Tokoh yang lain seperti KH. Hasyim Ay’ari adalah sumber legitimasi dalam pendirian organisasi NU sekaligus rais akbar yang pertama selain itu ada KH. Bisri Sjansuri yang dikenal sebagai mediator dan penjaga keilmuan guru-gurunya dan tokoh -tokoh yang laian.

Pada tahun 1922 kalangan tradisionalis meningkatkan kegiatan kemasjidan yang dikordinir oleh suatu badan yaitu Ta’mirul Masjid. Dalam perkembangannya mengadakan kursus-kursus agama bagi orang dewasa dengan cara diberi pengarahan agama di Madrasah Nahdlatul wathan dalam 3 kali seminggu. Dari pengajian tersebut KH. Wahab menggerakkan para pemuda diantaranya Abdullah Ubai, Mahfudz Shidiq dan Thohir untuk mendirikan Syubbanul Wathan yang didirikan pada tahun 1924 yang mempunyai peran utama yaitu membangun dan membangkitkan semangat kaum pemuda untuk bersama-sama dengan pemuda lainnya, dan mempersatukan kekuaatan pemuda untu memperjuangkan hak-haknya yang terjajah di negeri sendiri, selain itu juga mempunyai kegiatan membahas masalah agama, dakwah, peningkatan pengetahuan bagi anggota dan sebagainya, Syubbanul Wathan dalam perkembangannya menjadi GP Ansor.

Dari kalangan Tradisionalis sendiri menyebutkan bahwa pasca kongres di Bandung KH. Wahab Hasbullloh berusaha sowan kepada beberapa kiai untuk mengadakan musyawarah dengan kiai lain yang sehaluan. Langkah KH. Wahab ini mendapatkan sambutan positif dari para Kiai atau  Ulama terkemuka diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari. Ahirnya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M bertempat di Surabaya di kediaman KH. Wahab Hasbullah para ulama atau kiai mengadakan pertemuan. Diantara Ulama yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Sansuri dari Jombang, KH. Ridlwan Abdullah dari Surabaya, KH. R. Asnawi dari Kudus, KH. Ma’sum dari Lasem, KH. Nawawi dari Pasuruan, KH. Nahrowi dari malang,  KH. Alwi Abdul Aziz dari Surabaya dan lain sebagianya.

Pertemuan ulama-ulama khoss tersebut menghasilkan beberapa keputusan penting diantaranya:pertama, meresmikan dan mengukuhkan Komite Hijaz yang akan dikirim menemui Raja Ibnu Saud. Komite ini akan mengirim delegasi sendiri pada acara Kongres di Makkah yang terdiri dari KH. Wahab Chasbullah dan Syaikh Ahmad Ghunaim Al-Mishri. Tugas mereka adalah menemui langsung Raja Ibnu Saud untuk menyampiakan tuntutan agar ajaran madzhab empat dihormati dan kebebasan melakukan praktek peribadatan yang lain. Raja Ibnu Saud dapat menerima usulan mereka, tetapi untuk poin yang terahir tidak jelas. Jawaban tertulis raja Ibnu Saud akan menjamin dan menghormati ajaran empat madzhab dan faham ahlussunnah wal Jamaah. Kedua,pertemuan di Surabaya tersebut bersepakat membentuk Jam’iyah sebagai wadah persatuan para Ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju terciptanya izzatul Islam wal Musimin (kejayaan Islam dan Kuam Muslimin). Jam’iyah ini diberi nama Nahdlatul Oelama (NO) atau Nahdatul lama (NU) menurut ejaan yang disempunakan. Secara sigkat tujuan jamiyah ini adalah untuk membina terwujudnya masyarat Islam berdasarkan akidah ahlusunnah wal jamaah.

Pertemuan di Surabaya juga didorong oleh faktor lain diantaranya: satu, langkah politik Hindia Belanda yang memberlakukan pembatasan bagi kaum Muslimin yang ingin melakukan ibadah haji. Dua, Prinsip ulama yang berpegang teguh pada qaidah al-muhafadzah ala qadim al-salih wa al-akhdzu bil jadid al-ashlah (menjaga kesinambungan tradisi lama yang baik dan mengambil  tradisi baru yang lebih baik). KH. Hasyim Asy’ari menyusun Al-Qanun Al-Asasiy dan Risalah Ahlussunnah wal Jamaah dalam rangka menegaskan pinsip dasar Organisasi NU dan kemudian menjadi landasan dalam Khittah NU. Hal ini dapat dilihat bahwa latar belakang berdirinya NU bukan hanya karena adanya gesekan dengan kaum modernis saja, akan tetapi ada hal lain yang mana sudah berjalan dan dilakukan oleh para Ulama dan kaum Tradisionalis yaitu semangat nasionalisme yang tinggi dari para Ulama dan masyarakat kaum tradisionalis, ditambah semangat kauam tradisionalis dalam merawat tradisi dan kebudayaan Nusantara sebagai pondasi dalam dakwah dan dalam mengamalkan ajaran agama.

Dalam 15 tahun pertama  NU megalami perkembangan yang sangat pesat, hal ini dapat dilihat dari prosentase peserta Mu’tamar NU dari tahun ketahun yang bertambah, jumlah Anggota NU mengalami peningkatan pada tahun 1938 yaitu mencapai 100.000 anggota, jumlah kepengurusan Cabang NU yang menigkat menjadi 120 Cabang pada tahun 1942. Selain itu juga pertumbuhan kompleksitas organisasi dengan terbentuknya divisi-divisi dan dewan-dewan atau departemen. Desakan untuk merangkul kalangan pemuda mendorong terbentuknya sayap-sayap organisasi seperti organisasi Islam yang lain. Dalam proses perkembangannya, sistem keorganisasian Nahdlatul Ulama mengalami peningkatan sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan. Kepengurusan NU terdiri dari Mustasar, Syuriah dan Tanfidziah. Selain itu NU juga membentuk Perangkat Organisasi untuk melaksanakan usaha-usaha dalam rangka mencapai tujuan organisasi maka terbentuklah perangkat organisasi yang terdiri dari: Lembaga, Lajnah dan Badan Otonom yang merupaan bagian dari kesatuan Organisasi NU. Tingkat kepengurusan NU terdiri dari Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, Pengurus Majelis Wakil Cabang dan Pengurus Ranting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar yang baik