Selasa, 27 Juni 2017

PEMBERDAYAAN MASAYARAKAT DESA Visi Menuju Perubahan Sosial Desa

Ibe Karyanto

Pemberdayaan masyarakat desa merupakan mandat UU Desa yang mengakar pada pokok
persoalan (radikal). Artinya mandat itu diberikan atas dasar pemahaman yang obyektif tentang akar
penyebab kemiskinan desa. UU Desa memahami kemiskinan desa bukan sebuah keniscayaan tetapi
akibat dari sistem, peraturan perundangan dan kebijakan yang tidak adil terhadap desa. Selama ini
desa telah dipinggirkan. Desa ditempatkan hanya sebagai obyek program.
Pemberdayaan punya arti beragam, tergantung dari sisi mana dan dalam kaitan dengan
apa. Tapi dalam tulisan ini makna pemberdayaan jelas ditempatkan dalam keranga visi UU Desa.
Penggunaan istilah pemberdayaan masyarakat desa dalam rumusan mandat UU Desa memiliki
makna ganda. Di samping bermakna sebagai tindakan memulihkan kuasa, daya masyarakat desa,
pemberdayaan dalam UU Desa juga bermakna pengakuan atas berlangsungnya proses pemiskinan
dan kondisi kemiskinan di desa.
Sebelum membahas lebih khusus tentang karakter pemberdayaan pada bagian akhir, ada
baiknya kita pahami terlebih dahulu secara ringkas apa konteks dan kondisi yang melatarbeakangi
munculnya gagasan kritis pemberdayaan. Hal yang tak terpungkiri adalah istilah pemberdayaan tak
terpisahkan dari kemiskinan.
MODUL PELATIHAN: PENDAMPING LOKAL DESA
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 149
Pembangunan dan Kemiskinan
Pemberdayaan merupakan bagian dari perkembangan pandangan para pemikir kritis
yang berusaha menghadirkan teori baru tentang ekonomi pembangunan. Gagasan kritis tentang
pemberdayaan mucul sebagai bentuk alternatif dari model pembangunan yang materialistis,
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Sementara pertumbuhan ekonomi diukur dari jumlah ratarata
penghasilan masyarakat produktif di suatu negara dalam periode tertentu. Hasilnya memang
bisa menjadi indikasi pembanding kemajuan ekonomi suatu negara dibanding negara lain. Namun
di balik data keberhasilan tersebut teori pertumbuhan ekonomi senantiasa menyisakan kenyataan
jumlah masyarakat miskin dan tak berdaya yang lebih besar.
Tersebutlah salah satu filosof, tokoh eknomi berkebangsaan Slotlandia, Adam Smith (1723
– 1790), yang memperkenalkan teori pertumbuhan ekonomi. Baginya pertumbuhan ekonomi akan
terjadi kalau ada pembagian kerja. Karena pembagian kerja akan memacu produktivitas dan dengan
demikian mempercepat pula pendapatan. Produktivitas dan peningkatan pendapatan akan terjadi
kalau disertai terbukanya pasar. Pasar atau sektor swasta menjadi penentu ukuran meningkatnya
pertumbuhan ekonomi.
Dari cikal bakal teorinya Adam Smith berkembang teori lain yang disebut teori pertumbuhan
ekonomi modern. Teorinya menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya ditentukan
oleh kekuatan pasar, tetapi juga keterlibatan negara. Ada dua kecenderungan dalam teori
pertumbuhan ekonomi modern. Teori yang satu menekankan pentingnya penumpukan (akumulasi)
modal. Penumpukan modal ditentukan oleh dua unsur penting yaitu unsur kepemilikan tabungan
(investasi) dan produktivitas modal. Semakin tinggi kemampuan produksi modal, semakin tinggi
pula kemampuan untuk memperbesar tabungan (investasi). Dengan demikian semakin tinggi pula
pertumbuhan ekonomi.
Teori itu tetap menyisakan kesenjangan antara kaum yang memiliki modal, yang mampu
menabung atau berinvestasi dengan kaum yang tidak memiliki modal. Terlebih ketika tokoh
sejamannya Keynes menekankan unsur kelebihan tenaga kerja (surplus of labour). Menurut teori ini
kelebihan tenaga kerja membuat harga tenaga kerja menjadi murah. Karena itu pemilik modal atau
pengusaha bisa mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan kelebihan tenaga
kerja tanpa perlu memikirkan kewajibannya untuk menaikkan upah.
Pemikiran untuk mencari model pertumbuhan ekonomi yang memberikan manfaat yang
merata terus berkembang. Lahir kemudian teori pertumbuhan ekonomi neoklasik, yang menempatkan
teknologi sebagai unsur penting pendorong pertumbuhan ekonomi. Muncul lagi teori yang
menekankan pentingnya unsur kemampuan manusia (human capital). Kemampuan manusia perlu
dikembangkan melalui pendidikan atu pelatihan untuk mendorong tingginya tingkat pertumbuhan
eknomi. Manusia menjadi unit produksi. Menyusul kemudian teori yang menjelaskan pembangunan
merupakan perubahan yang akan dicapai melalui pertumbuhan ekonomi secara bertahap.
Harapannya setiap hasil pembangunan akan dirasakan oleh setiap penduduk sampai ke
lapisan yang paling bawah. Namun kenyataan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia,
menunjukkan bahwa teori-teori pembangunan belum terbukti menjamin pertumbuhan ekonomi
benar-benar bisa merembes dan dirasakan oleh masyarakat bawah. Pertumbuhan ekonomi dari
masa ke masa menegaskan bahwa yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin tetap miskin.
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 150
MODUL PELATIHAN: PENDAMPING LOKAL DESA
Bisa jadi yang miskin malah semakin miskin.
Oleh karena itu dalam perkembangan berikut muncul pandangan-pandangan alternatif yang
memikirkan pembangunan tidak hanya semata diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga diukur
dari pertumbuhan kesejahteraan sosial. Pandangan ini menekankan pentingya mengembangkan
model pembangunan yang berkeadilan. Selama 4 sampai 5 dekade terakhir bahkan semakin
menguat pandangan yang mempromosikan supaya setiap teori pembangunan menempatkan nilainilai
demokrasi, Hak Asasi Manusia, gender dan nilai-nilai kemanusiaan universal sebagai pusat
perhatian.
Sekalipun pandangan itu semakin menguat, tetapi toh belum terbukti menjadi kenyataan.
Sampai sejauh ini pembangunan ekonomi masih terus tumbuh di atas ketidakadilan yang melahirkan
ketimpangan. Pertumbuhan ekonomi masih menyisakan kemiskinan.
Ketidakberdayaan Desa
Pembangunan tidak hanya menyisakan kemiskinan di perkotaan. Data Badan Pusat Statistik
tahun 2014 menunjukan jumlah penduduk miskin di Indonesia kebanyakan adalah penduduk yang
bermata pencaharian petani. Artinya data tersebut bisa dibaca bahwa kemiskinan lebih banyak
dijumpai di pedesaan yang nota bene masih merupakan sektor penyerap tenaga kerja terbanyak.
Kondisi tersebut boleh dikatakan belum pernah mengalami perubahan berarti dari waktu ke waktu.
Ironis, desa sebagai sumber daya utama negeri agraris justru hidup dalam kemiskinan.
Sejarah desa adalah sejarah kemiskinan petani di atas tanahnya sendiri yang kaya. Kemiskinan
pedesaan merupakan kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan akibat dari sistem tata kelola dan
kebijakan yang tidak adil. Kemiskinan struktural di pedesaan sudah dimulai dari sejak pemerintah
kolonial memberikan secara berlebihan hak penguasaan tanah kepada pengusaha-pengusaha
swasta melalui Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870. Akibatnya pengusaha swasta
menguasai sebagian terbesar tanah, sementara sebagian penduduk bumi putera hanya memiliki
sebagian kecil sisa tanah. Ketimpangan kepemilikan atas tanah mengakibatkan kesenjangan
pembagian kekayaan.
Warisan kemiskinan pasca kolonial masih berlangsung di masa kemerdekaan. Di masa
kemerdekaan produk hukum dan peraturan yang menyakut tata kelola pedesaan banyak dipengaruhi
peraturan yang diproduksi pemerintah kolonial. Ambil contoh, makna desentralisasi desa yang
menjadi amanat UU No.1 Tahun 1945 tidak berbeda dengan desentralisasi desa yang dimaksud
dalam peraturan perundangan yang diberlakukan pemerintah kolonial. Di masa kolonial desentralisasi
yang diberikan bersifat transaksional. Desentralisasi memberikan kewenangan pada Kepala Desa
untuk mengatur sendiri wilayah desanya dengan maksud supaya pemerintah kolonial mendapat
kemudahan dalam menarik pajak dan upeti. Demikian pula dengan produk Undang-undang lain
yang terkait dengan tata kelola desa belum sepenuhnya mengembalikan kewenangan desa. Desa
diberikan otonomi tetapi sekaligus pemerintahan desa ditetapkan sebagai bagian dari pemerintahan
terkecil dan terbawah.
Harapan kembalinya kewenangan desa sempat muncul ketika lahir UU No. 18 Tahun 1965
yang mendudukan desa sebagai daerah yang memiliki kekuasaan hukum, politik dan pemerintahan
otonom. Posisi desa menjadi semakin kuat ketika pemerintah menetapkan Undang-undang No.19
MODUL PELATIHAN: PENDAMPING LOKAL DESA
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 151
Tahun 1965 tentang Desa Swapraja. Amanat Undang-undang ini menghadirkan semangat untuk
menjunjung nilai-niali demokrasi, kemandirian dan kemerdekaan desa.
Namun sayang, implementasi amanat Undang-undang belum sempat terwujud Orde Baru
sudah mengambil alih kekuasaan. Kepemimpinan Orde Baru segera membekukan Undang-undang
tersebut melalui ketetapan Undang-undang No. 6 Tahun 1969 yang menyabut pemberlakukan
seluruh Undang-undang tentang desa. Sementara belum ada peraturan perundangan tentang desa
yang menggantikan. Akibatnya banyak tanah-tanah desa yang dikuasai oleh elit desa dan pemilik
modal.
Desa semakin menderita dan pemiskinan desa semakin menguat akibat dari perundangundangan
dan kebijakan Orde Baru yang tidak adil. Di satu sisi peraturan perundangan dan
kebijakan memberangus kewenangan pemerintahan desa, tapi di sisi lain dibuka kesempatan luas
bagi para pemilik modal untuk menjadikan desa sebagai lahan investasi. Undang-undang No.1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing merupakan produk perundangan yang tidak secara
langsung menngatur tentang desa, namun mempercepat dampak kemiskinan di desa. Undangundang
tersebut memberikan kesempatan bagi para pemilik modal asing untuk masuk ke Indonesia
dan menguasai industri pertanian dan industri lainnya.
Produk perundangan Orde Baru lain yang melemahkan keberadaan desa adalah UU No.5
Tahun 1979. Undang-undang ini jelas menunjukkan karakter kekuasaan otoritarian pemerintah pusat
yang memberangus kewenangan desa untuk bisa mengatur dan menguasai. Salah satu amanatnya
adalah menyeragamkan bentuk dan susunan desa. Akibatnya desa kehilangan karakter sosialbudayanya.
Kebijakan Orde Baru lain yang menambah beban kemiskinan desa adalah kebijakan
ditetapkannya industrialisasi pertanian melalui revolusi hijau. Dalam jangka pendek kebijakan
revolusi hijau memang terbukti mampu meningkatkan produksi pertanian secara nasional. Namun
dalam jangka panjang industrialisasi pertanian menyisakan penderitaan berkepanjangan. Kearifan
budaya yang menyertai siklus tanam sampai panen tergerus oleh sikap pragmatis petani yang
lebih mengandalkan teknologi dari pada keterlibatan sosial masyarakat desa. Pengetahuan dan
keterampilan perempuan tani tidak lagi diperhitungkan. Kebiasaan memanfaatkan pestisida dan
teknologi pengolahan tanah menggerus tingkat kesuburan tanak.
Memasuki era reformasi banyak pihak berharap akan ada angin kebijakan pembangunan yang
segar yang juga menghentikan pemiskinan desa. Namun harapan tinggal harapan. Pemerintahan
semasa reformasi masih belum menunjukkan kesungguhan niat politik untuk melakukan perubahan
desa. Dua produk hukum, UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 belum mampu
menjawab hakekat kedudukan desa. Desa masih didudukkan sebagai pemerintahan terkecil bagian
dari pemerintahan di atasnya. Posisi desa adalah obyek yang tidak memiliki kewenangan mengatur
kehidupannya sendiri.
Undang-undang No.6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) merupakan produk perundangan
terbaru yang dihasilkan sesudah lebih dari lima belas tahun pemerintahan reformasi. Ada sebagian
pihak yang menyambut kehadiran UU Desa dengan keraguan (skeptis). Tapi sebagian terbesar
menyambutnya dengan penuh harapan (optimistik). Para pihak yang optimistik melihat UU Desa
sebagai gerbang harapan bagi desa, atau yang disebtu dengan nama lain.
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 152
MODUL PELATIHAN: PENDAMPING LOKAL DESA
Karakter Pemberdayaan
Lepas dari beragam reaksi, yang pasti UU Desa tegas mengakui kedudukan desa subyek
hukum yang memiliki hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri
(Psl 1, at 1). Desa boleh dan berhak merencanakan dan melaksanakan pembangunannya sendiri
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan desa sebagai subyek tidak hanya
diungkapkan secara jelas pada pasal tertentu, tetapi juga tersirat pada setiap pasal. Salah satu
rumusan yang menyiratkan semangat pengakuan sebagai subyek adalah pasal yang menyatakan
amanat tentang pemberdayaan masyarakat desa (Psl 1, at 12).
Pemberdayaan masyarakat desa merupakan amanat yang sesungguhnya menjungkirbalikkan
pendekatan pembangunan yang selama ini berorientasi pada kekuasaan. Pemberdayaan adalah
sebuah konsep pembangunan yang manghadirkan karakter dan nilai-nilai kemanusiaan. Karakter
pertama, pemberdayaan mewujudkan pembangunan yang berpusat pada masyarakat. Masyarakat
menjadi pelaku utama sekaligus tujuan (people centre). Dalam konteks ini pemberdayaan merupakan
bagian dari gerakan budaya. Salah satu karakter dari pemberdayaan adalah kesadaran kritis
masyarakat tentang makna pembangunan. Karakter ini mengandaikan tumbuh dari sikap kesediaan
masyarakat untuk senantiasa belajar memahami beragam aspek yang mempengaruhi dampak
pembangunan bagi masyarakat dan lingkungan.
Karakter berikutnya adalah partisipatif, yaitu menyertakan keterlibatan aktif masyarakat
untuk menggagas, merencanakan, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan proses
pembangunan. Dalam UU Desa karakter ini jelas dan tegas terlihat pada azas pengaturan desa
(Pasal 3). Di samping itu karakter partisipatif juga sejalan dengan kearifan desa yang menghormati
musyawarah desa sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi desa.
Berikutnya pemberdayaan memiliki karakter memampukan (empowering) masyarakat
yang terlibat dalam aktivitas pembangunan. Sejalan dengan karakter ini maka bisa dipahami
kalau amanat pasal pemberdayaan dalam UU Desa disertai dengan Peraturan Pemerintah yang
menegaskan perlunya para pihak, utamanya pemerintah untuk melakukan pendampingan terhadap
masyarakat dan aparatus desa (Psl 128, PP No. 43 Tahun 2014). Tujuan pendampingan adalah
untuk meningkatkan kapasitas pendamping dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa (Psl 129 at 1 C, PP. No 43 Tahun 2014).
Di samping itu pemberdayaan merupakan model pembangunan yang berkarakter
berkelanjutan (sustainable). Karakter ini mendorong pelaku pembangunan untuk tidak bersikap
pragmatis (aji mumpung) dalam merencanakan dan melakukan pembangunan. Pembangunan
berkelanjutan merupakan konsep yang menuntut kemampuan visioner, kemampuan melihat
manfaat pembangunan tidak saja untuk kebutuhan saat ini, tetapi mampu terus menerus memenuhi
kebutuhan jangka panjang. Di samping itu kerberlanjutan juga berarti sifat pembangunan yang
memperhatikan dampak kehancuran lingkungan. Artinya perencanaan pembangunan perlu disertai
dengan upaya menjaga keberlangsungan ketahanan sumber daya alam dan lingkungan.
Karakter-karakter tersebut juga menegaskan bahwa pemberdayaan merupakan sebuah
konsep gerakan budaya, yaitu sebuah gerakan yang dilakukan secara sadar dilakukan terus menerus
untuk menghormati martabat manusia dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan asasi dan menjaga
MODUL PELATIHAN: PENDAMPING LOKAL DESA
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia 153
lingkungan tempat manusia berada.
Dalam kerangka implementasi Undang-undang Desa pemberdayaan merupakan sebuah
konsep pembangunan yang menjujung tinggi nilai kedaulatan masyarakat desa sebagai subyek,
kesatuan masyarkat hukum yang memiliki hak dan kewenangan. Karena itu keberhasilan
pemberdayaan masyarakat desa tidak hanya diukur secara materialistik, terpenuhinya sarana dan
prasarana fisik, tetapi juga diukur dari tingkat pemerataan kesejahteraan. Di atas itu semua ukuran
yang terpenting adalah perubahan sikap dan perilaku masyarakat. Pemberdayaan merupakan
wujud lain dari pendidikan karakter yang mendorong masyarakat tidak hanya semakin mampu atau
terampil, tetapi juga berkembang menjadi masyarakat yang memiliki integritas sosial.
Bacaan Acuan
• Astuti, Dwi, “Pedesaan: Potret Pemiskinan yang Belum Usai” dalam Menelusuri Akar Otoritarianisme
di Indonesia, Elsam, 2007.
• Brata Gunadi, Aloysius, “Kehancuran Ekonomi Perdesaan, Mengapa Berlanjut” dalam Menelusuri
Akar Otoritarianisme di Indonesia, Elsam, 2007
• Budiman, Arief Dr, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia, 1996
• Kartasasmita, Ginandjar, “Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang Berakar Pada
Masyarakat”, (Art), 1997
• Subhilhar, Pemberdayaan Masyarakat dan Modal Sosial, (Art), …..
• Zakaria, R. Yando, Peluang dan Tantangan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”
(Art), 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar yang baik