Minggu, 15 Juli 2018

TGB DUKUNG JOKOWI, APA ALASANYA

JejakNUsantara-Pernyataan dukungan tokoh ulama berpengaruh Muhammad Zainul Majdi atau lebih dikenal dengan Tuan Guru Bajang (TGB) terhadap Presiden Joko Widodo telah mengagetkan banyak pihak dan telah mendapatkan tanggapan yang luas. Baik pihak-pihak yang selama ini berada di dalam lingkarannya maupun pihak pemerintah sendiri. Bahkan hingga Jokowi sendiri yang selama ini terlihat selalu menjaga untuk tidak merespons manuver-manuver politik menjelang pemilihan presiden telah tergoda untuk ikut merespons langsung pernyataan TGB tersebut.

Banyak yang menganggap bahwa dukungan TGB ini hanya persoalan dukung-mendukung semata-mata dari sisi politik. Namun, jika kita pelajari lebih dalam penjelasan dan pernyataan-pernyataan lanjutan dari TGB, termasuk keterangan yang disampaikannya di akun Instagram yang telah dikutip luas oleh media, hendaknya kita tidak memahami sikap TGB ini demikian sederhana. Tetapi, ada kekhawatiran yang membuncah pada diri TGB tentang isu-isu keumatan yang selama ini telah berlangsung, dan telah diwarnai oleh manuver-manuver politik yang bagi TGB sebagai seorang ulama yang memiliki pengaruh di masyarakatnya situasi ini sangat mengkhawatirkan. 

Hingga akhirnya TGB memutuskan untuk menggunakan pengaruhnya, mencoba menetralisasi keadaan yang membuatnya khawatir semampunya, meskipun harus melawan arus dimana selama ini dia berada di dalamnya. TGB memutuskan untuk bersuara di tengah labirin besar yang mengelilinginya. Dia mencoba menetralisasi situasi yang telah membuatnya khawatir dan gundah. TGB tentu memiliki pertimbangan yang kuat mengenai sikapnya tersebut, untuk pada akhirnya menyatakan mendukung Jokowi dengan pertimbangan kemaslahatan bangsa, umat, dan akal sehat.

TGB mengambil risiko yang sangat besar, dan sangat disadari olehnya bahwa tekanan yang akan didapatkannya tidak mudah. Ini bagian dari jihad dengan sikap yang melawan arus para tokoh Islam rekan-rekannya yang saat ini sedang membangun kekuatan "Ganti Presiden 2019". Kenapa TGB mengambil sikap tersebut?

Para pemain politik nasional harus jeli melihat fenomena TGB ini bahwa masyarakat tidak mudah untuk digiring pada situasi yang membuat mereka terpaksa harus menyatakan suara pada situasi kehidupan sosial dan agamanya. Sesungguhnya yang dapat dipahami dari sikap TGB ini adalah bahwa TGB sedang mendukung sikap berpolitik yang santun yang diajarkan oleh Islam. Sikap berpolitik yang tidak lepas dari aturan-aturan hablum minannas, hubungan antarsesama manusia yang tetap tunduk pada etika dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Kecenderungan lawan politik untuk mengalihkan perhatian masyarakat pada hal negatif yang disematkan kepada lawan politik tertentu direspons oleh masyarakat dengan akal sehat. Pengelolaan isu psikologis memang mudah dimainkan oleh tokoh politik untuk membangun stigma negatif maupun positif tokoh tertentu. Namun, manakala hal itu sudah dianggap berlebihan dan dinilai membahayakan umat maka masyarakat akan merespons sebaliknya dengan tujuan agar upaya-upaya negatif tidak terus berjalan.

TGB menyatakan sikap dukungan kepada Jokowi dapat dipahami dari sisi kekhawatiran seorang tokoh agama yang instingnya melihat potensi kekacauan di tengah masyarakatnya akibat dari isu-isu, dan strategi yang menggunakan cara-cara, yang dia anggap membahayakan bangsa yang dicintainya. Pernyataan TGB ini penting untuk dilihat sebagai indikasi kebangkitan suara-suara yang selama ini memilih diam untuk tidak merespons manuver-manuver yang selama ini diterapkan oleh sesama umat Islam dalam berpolitik.

Banyak kenyataan yang bisa kita lihat sebagai situasi politik yang pada akhirnya setiap individu akan mengambi keputusan untuk bersikap, misalnya kisah seorang pemilih pada Pilgub Jabar yang melawan situasi yang dialaminya dengan mengumumkan ke masyarakat, bagaimana hak memilihnya diintervensi oleh arahan kelompok tertentu tempat dia bekerja. Ini juga sebuah bentuk penolakan masyarakat terhadap sikap yang dianggap tidak benar dalam sebuah proses politik. Pada kisah yang lain, seorang anggota partai mengundurkan diri karena kecewa dengan sikap yang diambil oleh partai yang disebut menggunakan isu-isu SARA dalam menjalankan strategi politik, mempengaruhi pemilih, dan meraih kekuasaan. Serta, banyak kisah-kisah lain.

Di sisi lain, ada tokoh senior nasional yang kerap menggunakan diksi atau pilihan kata yang cenderung mempolarisasi masyarakat ke dalam kubu-kubu yang dikatakan satu kubu hitam dan satu kubu putih. Partai Allah dan Partai Setan, adalah cara-cara pemilihan bahasa yang tidak cocok digunakan dalam potret perpolitikan nasional. Apalagi sebenarnya hampir di semua partai politik sebagian besar pendukungnya adalah umat Islam.

Bahwa lawan politik menyerang satu sama lain baik dengan isu yang moderat maupun dengan isu yang menjatuhkan, itu hal yang lumrah dilihat dari pertarungan politik untuk memperebutkan suara pemilih. Namun, manakala strategi yang diterapkan sudah dinilai bahaya oleh masyarakat maka masyarakat akan melawan balik melalui aksi-aksi individu maupun kelompok.

Pelajaran Berharga

Bagi perpolitikan Indonesia hendaknya fenomena TGB ini dapat dijadikan sebagai cerminan dari pola perpolitikan nasional yang patut dijadikan pelajaran juga. Pertama, tidak mudah bagi seorang tokoh yang sedang berada di dalam lingkaran utama kelompok pengusung "Ganti Presiden 2019" untuk menyatakan sikap yang berbeda, bahkan bertentangan dengan agenda utama kelompoknya. Sikap yang diambil TGB telah mengagetkan banyak pihak, termasuk para ulama dan tokoh-tokoh politik nasional. 

Presiden Jokowi yang bahkan jarang sekali merespons manuver-manuver lawan politik, kali ini ikut merespons sikap TGB dengan menyatakan bahwa sikap TGB adalah bentuk penghargaan kepada pemerintah, dan menilai bahwa sikap itu adalah bentuk rasionalitas berpikir dalam melihat kenyataan bangsa Indonesia.

Kedua, kita hendaknya tidak melihat sikap TGB ini dari sisi dukung-mendukung secara politik semata, tapi kita harus melihatnya dari sisi kekhawatiran seorang tokoh agama yang memiliki pengaruh di masyarakat terkait perkembangan manuver-manuver politik yang tengah gencar, dan secara terus-menerus disuarakan di tengah umat Islam. Yaitu, manuver-manuver politik --yang ditolak oleh TGB-- yang membawa ayat-ayat ke dalam kancah pertarungan politik, mendikotomi kelompok ke dalam partai Allah dan Partai Setan, bahkan hingga mendudukkan lawan politik sebagai kafir.

Inilah yang harus dilihat lebih jauh dari sikap TGB, bahwa seseorang TGB sedang mencoba memperbaiki keadaan melalui pengaruh yang dimilikinya untuk menetralisasi potensi besar perpecahan umat karena strategi politik yang dinilai membahayakan tersebut. Maka, dari sisi ini dapat dilihat lebih dalam bahwa tujuan utama TGB tidak mendukung Jokowi tetapi lebih jauh lagi yaitu sedang mendukung terciptanya dan terjaganya keberlangsungan kehidupan harmonis di tengah umat Islam.

Tidak bisa dipungkiri bahwa umat Islam adalah mayoritas di hampir semua partai yang ikut dalam pesta perpolitikan nasional. Pelajaran yang bisa diambil oleh para pemain politik dan para tokoh yang sedang terlibat dalam pembangunan strategi-strategi pemenangan calon presidennya masing masing, bahwa hendaknya tidak bermain kotor dengan menggunakan pilihan-pilihan kata dalam istilah agama untuk bermain politik praktis yang sementara ini.

Para tokoh, siapapun, hendaknya memahami sikap TGB ini dari sisi yang lebih dalam, tidak hanya sekadar memahaminya dari sisi dukung-mendukung seorang calon presiden. Hendaknya para tokoh politik, para ulama, maupun para pemegang pengaruh di masyarakat berhati hati dalam menerapkan strategi dalam pemilihan presiden ini, karena masyarakat akan mengejar Anda untuk kembali ke jalan yang baik, apakah dia teman sendiri atau teman-teman dari kelompok lain.

Asep Jahidin pengamat sosial UIN Sunan Kalijaga Jogja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar yang baik