Senin, 25 Juni 2018

WALAU DILARANG PENJAJAH BELANDA, NU TETAP KUMPULKAN DONASI UNTUK PALESTINA PADA TAHUN 1938

Walau Dilarang Penjajah Belanda, NU Tetap Kumpulkan Donasi Untuk Palestina pada Tahun1938

Warga dan pengurus NU sejak awal berdiri, tidak hanya memikirkan organisasi sendiri. Namun, juga merespon perkembangan negara sendiri dan dunia Islam pada umumnya. Khusus untuk Palestina, NU memberikan perhatian yang lebih khusus. Tidak hanya dukungan moral, tapi juga material dalam bentuk uang.

Pada sisi dukungan moral, PBNU melalui majalah yang terbit dwimingguan, yaitu Berita Nahdlatoel Oelama dari edisi 1-24 tahun 1355 H atau 1936 M, setiap kali terbit selalu menginformasikan nasib Palestina.

Dari sisi dukungan material, selepas Kongres NU ke-14 di Magelang, PBNU memerintahkan seluruh cabang mengedarkan celengan iuran derma untuk yatim dan janda di Palestina. Hal itu, dimuat pada Berita Nahdlatoel Oelama No 1 tahun ke-8, edisi 8 Ramadhan 1357 H bertepatan dengan 1 November 1938 M.

Kongres ke-14 di Magelang, maka seloeroeh tjabang NO telah diperintahkan mendjalankan kepoetoesan ya’ni mengidarkan tjelengan derma goena jatim dan djanda di Falisthina, selama dan di dalam madjelis-madjelis rajabijah di dalam boelan radjab jang baroe laloe ini.

Namun sayangnya, pungutan itu mendapat banyak halangan dari pihak yang berwajib (penjajah Belanda) sehingga di beberapa tempat, pungutan itu dilarang sekali, misalnya di Amboeloe jember, tetapi dibolehkan Jember sendiri, situbondo, Bangkalan, Sumenep, Pasuruan, Bangil dan lain-lain.

Padalah pada 12 Agustus tahun itu, PBNU telah berkirim surat kepada Poerkeroel Jenderal di Batavia bahwa NU seluruh Indonesia menjalankan pungutan derma untuk yatim dan janda di Palestina dan akan menjalankan Qunut Nazilah untuk keselamatan umat Islam Palestina.

Sejak surat itu dikirimkan, tidak ada keberatan balasan surat dari Poerkeroel Jenderal. Karena itulah maka PBNU berkeyakinan Poerkeroel Jenderal tidak melarang pungutan itu. Karena berdasarkan aturan yang ada, hanya Poerkeroel Jenderal yang membolehkan dan melarang kegiatan semacam itu berdasarkan Pasal 1 Staastblad 1932 No 559.

Karena halangan itu, pungutan yang dilakukan NU tidak mencapai jumlah yang ditargetkan.

“Soenggoehpoen sedikit, akan tetapi sekadar memenoehi kewadjiban kita oemmat Islam terhadap pada moesibahnja saudara kita oemat Islam, soedahlah kita djalankan. Moega-moega amal NO itoe diterima Allah Soebhanahoe wata ‘ala.

BACA JUGA;

Sejak Tahun 1938, NU Konsisten “Bela Palestina”

Banser: Negara Jangan Kalah karena diancam Ormas Radikal

Patut Dicontoh Ormas Lain, Banser Terjunkan 12.480 Personel Bantu Kesulitan Pemudik

Keren! Ada Fasilitas Pijat Gratis di Posko Mudik Banser Kudus

Ansor Siap Pertahankan NKRI Mesti Nyawa sebagai Taruhan

Walau Dilarang Penjajah Belanda, NU Tetap Kumpulkan Donasi Untuk Palestina pada Tahun1938

Sejak Tahun 1938, NU Konsisten “Bela Palestina”

Minggu, 24 Juni 2018

KISAH GUS MIEK BERSAMA SANG GURU

KETIKA GUS MIEK DI PANGGIL SANG GURU

Ketika gus miek baru mulai bisa merangkak, saat itu ibunya membawa ke kebun untuk mengumpulkan kayu bakar dan panen kelapa, bayi itu ditinggalkan sendirian di sisi kebun, tiba-tiba dari semak belukar muncul seekor harumau. Spontan sang ibu berlari menjauh dan luapa bahwa bayinya tertinggal. Begitu sadar, sang ibu kemudian berlari mencari anaknya. Tetapi, sesuatu yang luar biasa terjadi. Ibunya melihat harimau itu duduk terpaku di depan sang bayi sambil menjilagti kuku-kukunya seolah menjaga sang bayi.
Peristiwa ketertundukan binatang ini kemudian berlanjut hingga Gus Miek dewasa. Di antara kejadian itu adalah Misteri Ikan dan Burung Raksasa. Gus Miek yang sangat senang bermain di tepi sungai Brantas dan menonton orang yang sedang memancing, pada saat banjir besar Gus Mik tergelincir ke sungai dan hilang tertelan gulungan pusaran air. sampai beberapa jam, santri yang ditugaskan menjaga Gus Miek, mencari di sepanjang pinggiran sungai dengan harapan Gus Miek akan tersangkut atau bisa berenang ke daratan. Tetapi, Gus Miek justru muncul di tengah sungai, berdiri dengan air hanya sebatas mata kaki karena Gus Miek berdiri di atas punggung seekor ikan yang sangat besar, yang menurut Gus Miek adalah piaraan gurunya.

Pernah suatu hari, ketika ikut memancing, kail Gus Miek dimakan ikan yang sangat besar. Saking kuatnya tenaga ikan itu, Gus Miek tercebur ke sungai dan tenggelam. Pengasuhnya menjadi kalang kabut karena tak ada orang yang bisa menolong, hari masih pagi sehingga masih sepi dari orang-orang yang memancing. Hilir mudik pengasuhnya itu mencari Gus Miek di pinggir sungai dengan harapan Gus Miek dapat timbul kembali dan tersangkut. Tetapi, setelah hampir dua jam tubuh Gus Miek belum juga terlihat, membuat pengasuh itu putus asa dan menyerah.
Karena ketakutan mendapat murka dari KH. Djazuli dan Ibu Nyai Rodyiah, akhirnya pengasuh itu kembali ke pondok, membereskan semua bajunya ke dalam tas dan pulang tanpa pamit. Dalam cerita yang disampaikan Gus Miek kepada pengikutnya, ternyata Gus Miek bertemu gurunya. Ikan tersebut adalah piaraan gurunya, yang memberitahu bahwa Gus Miek dipanggil gurunya. Akhirnya, ikan itu membawa Gus Miek menghadap gurunya yaitu Nabi Khidir. Pertemuan itu menurut Gus Miek hanya berlangsung selama lima menit. Tetapi, kenyataannya Gus Miek naik ke daratan dan kembali ke pondok sudah pukul empat sore. beberapa bulan kemudian, setelah mengetahui bahwa Gus Miek tidak apa-apa, akhirnya kembali ke pondok.

Pada suatu malam di ploso, Gus Miek mengajak Afifudin untuk menemaninya memancing di sungai timur pondok Al Falah. Kali ini, Gus Miek tidak membawa pancing, tatapi membawa cundik. Setelah beberapa lama menunggu, hujan mulai turun dan semakin lama semakin deras. Tetapi, Gus Miek tetap bertahan menunggu cundiknya beroleh ikan meski air sungai brantas telah meluap. Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gus Miek berdiri memegangi gagang cundik dan berusaha menariknya ke atas. Akan tetapi, Gus Miek terseret masuk ke dalam sungai. Afifudin spontan terjun ke sungai untuk menolong Gus Miek. Oleh Afifudin, sambil berenang, Gus Miek ditarik ke arah kumpulan pohon bambu yang roboh karena longsor. Setelah Gus Miek berpegangan pada bambu itu, Afifudin naik ke daratan untuk kemudian membantu Gus Miek naik ke daratan. Sesampainya di darat, Gus Miek berkata “Fif, ini kamu yang terakhir kali menemaniku memancing. Kamu telah tujuh kali menemaniku dan kamu telah bertemu dengan guruku .“ Afifudin hanya diam saja. Keduanya lalu kembali kepondok dan waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.

Jumat, 22 Juni 2018

Sejak Tahun 1938, NU Konsisten “Bela Palestina”


Sebagai organisasi Islam, NU memang terkesan lamat-lamat saja dalam mengkampanyekan solidaritas Palestina. Meski sebenarnya selama bertahun-tahun mereka tetap memperjuangkan Palestina dengan caranya sendiri.

Sejak delapan puluh tahun lalu, Nahdlatul Ulama sudah vokal menyuarakan nasib Palestina. Seperti dikisahkan Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013), Hoofdbestuur Nahdlatul Ulama mengeluarkan seruan kepada semua organisasi Islam di Hindia Belanda pada 1938.

Isinya: mendorong ormas-ormas Islam agar bersikap tegas terhadap apa yang dilakukan orang-orang Yahudi dan bahu-membahu menolong Palestina untuk memerdekakan diri dari kaum Zionis. Bila dibaca dari perspektif dekolonisasi, ini merupakan ungkapan yang agresif pada saat itu, mengingat Belanda masih berkuasa di sini.

NU juga membentuk Palestine Fonds (Dana Palestina) untuk mengumpulkan sumbangan dari seluruh Hindia Belanda dan menjadikan tanggal 27 Rajab (peringatan Isra Mi’raj) sebagai “Pekan Rajabiyah” untuk mendorong pembebasan Palestina.

Yang menarik, NU menginstruksikan kepada seluruh warga Nahdliyin dan umat Islam agar membaca Qunut Nazilah pada setiap salat wajib yang ditujukan kepada Palestina. Qunut Nazilah adalah doa khusus yang diselipkan setelah rukuk apabila terjadi situasi genting atau terjadi bencana.

Dalam menyikapi situasi di Palestina, Qunut Nazilah mempunyai makna politik sebagai tanda dukungan terhadap kemerdekaan bangsa Palestina sekaligus bentuk protes terhadap kesewenang-wenangan Israel.

Pemerintah kolonial paham kandungan politis dari doa tersebut dan khawatir ia bisa mengganggu ketertiban. Mereka pun melarang NU melakukannya. Gara-gara itu, Ketua Hoofdbestuur Nahdlatul Ulama Mahfudz Shiddiq sempat dipanggil oleh pejabat Hoofdparket (Kejaksaan) untuk dimintai keterangan.

Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari kemudian melakukan klarifikasi pada saat Muktamar 1939 dilaksanakan. Pada pidato pembukaan, ia menyatakan Qunut Nazilah warga NU bukan untuk menghina umat lain seperti yang dituduhkan, tapi semata-mata kewajiban sebagai sesama umat Islam untuk menunjukkan solidaritasnya. Hal itu adalah perintah Nabi Muhammad kepada tiap umatnya ketika menghadapi bencana.

Sejak saat itu, NU gigih memperjuangkan Palestina sampai tiba masanya ketika cucu Sang Rais Akbar memimpin organisasi ini. Sejak Gus Dur memimpin NU pada 1984, isu Palestina sebenarnya mendapat porsi besar di tubuh kaum Nahdliyin. Sebelum menjabat Ketua Umum PBNU, Gus Dur memang dikenal sebagai salah satu tokoh Indonesia yang aktif menyuarakan isu-isu pembebasan Palestina. Acara pembacaan puisi di TIM pada 1982 yang digagas Gus Dur adalah salah satu buktinya.

Kesan pro-Palestina Gus Dur memang agak tertutupi oleh langkah-langkah kontroversialnya yang memicu tuduhan bahwa ia pro-Israel. Gus Dur pernah menjadi anggota The Peres Center for Peace and Innovation, yayasan perdamaian yang didirikan oleh bekas presiden Israel Shimon Peres. Pada awal 1990-an, Gus Dur juga melontarkan pernyataan bahwa suatu hari Indonesia harus mengakui negara Israel dan membuka hubungan diplomatik dengannya.

Tapi toh itu tidak pernah mengurangi sedikit pun solidaritas Gus Dur terhadap Palestina. Djohan Effendi menceritakan dalam Damai Bersama Gus Dur (2012) bahwa Gus Dur tersentuh hatinya ketika berkunjung ke Israel dan menemui rakyat di kedua kubu yang bertikai. Ia bertemu dengan orang Yahudi dan warga Palestina, yang Islam maupun Kristen.

Kedua pihak sebenarnya menginginkan perdamaian. Mereka mengatakan pada Gus Dur: “Hanya mereka yang berada dalam keadaan perang yang tahu persis apa makna damai.” Dari situlah Gus Dur mulai mewacanakan perlunya win-win solution bagi Palestina dan Israel.

Inilah yang kemudian menjadi landasan kebijakan PBNU masa Gus Dur dalam menyikapi konflik Palestina-Israel. Solusi moderat ini memang terkesan mendua dan tidak tegas bagi kalangan Islam yang lantang menyuarakan Israel harus enyah sama sekali dari tanah Palestina. Namun, dengan pertimbangan realitas politik dan faktor kemanusiaan, Gus Dur lebih memilih jalan tengah.

Setelah masa Gus Dur lewat, NU tetap konsisten memperjuangkan Palestina. Tak terhitung jumlah pernyataan, press release, dan seruan yang datang dari PBNU soal nasib Palestina.

Namun, yang paling menonjol adalah isu Palestina ini menjadi salah satu keputusan muktamar NU ke-33 di Jombang pada 2015. Komisi Rekomendasi Muktamar secara khusus merumuskan rekomendasi konkret yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait baik PBNU, pemerintah, maupun lembaga internasional seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan PBB.

Secara tegas, PBNU juga mendukung kemerdekaan Palestina. Ini sekaligus menjadi amanat dan sikap resmi PBNU dalam menyikapi konflik Israel-Palestina.

Sehari setelah insiden detektor logam meletus (26/7), Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini menyerukan agar negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB harus memberi perlindungan secepatnya kepada Palestina. Baginya, perlindungan tersebut bisa menepis anggapan miring bahwa PBB cenderung mengabaikan Palestina.

PBNU sendiri melakukan tindakan nyata dengan membentuk Komite Kemanusiaan dan Kemerdekaan Palestina (K3P) untuk membantu menangani krisis kemanusiaan di sana. “Tugas K3P ini selain memperjuangkan keselamatan dan hak rakyat Palestina, juga menggalang solidaritas dunia untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan Palestina,” terang Helmy.

Lewat pernyataan tersebut, Helmy juga mengaskan sekali lagi posisi NU dalam menyikapi konflik Israel-Palestina bahwa apa yang terjadi di tanah para nabi itu bukan pertikaian agama, melainkan persolalan kemanusiaan. Katanya, “Kami memandang apa yang terjadi di Palestina adalah krisis kemanusiaan. Maka yang digalang komite ini bukan hanya sebatas ukhuwah Islamiyah tapi lebih dari itu adalah ukhuwah insaniyah, persaudaraan kemanusiaan.”

Sekarang tahu kan sejak Zaman Kolonial, NU sudah menunjukkan solidaritas terhadap Palestina. Dan hingga sekarang NU tetap tegas dan konsisten bela Palestina.

Rabu, 20 Juni 2018

SILSILAH GURU (SANAD KEILMUAN) KH.HASYIM ASY'ARI SAMPAI KEPADA KANJENG NABI MUHAMMAD SAW

SILSILAH GURU (SANAD KEILMUAN) KH.HASYIM ASY'ARI SAMPAI KEPADA KANJENG NABI MUHAMMAD SAW
1.kh.hasyim asy'ari
2.syech mahfud termas
3.imam nawawi banten
4.imam khotib sambas
5.imam ahmad zaini dahlan
6.imam ahmad addasuki
7.imam ibrohim albaijuri
8.imam abdullah assanusi
9.imam abdiddin al izzi
10.imam muhammad bin umar fahrurrozi
11.imam abdulkarim assyahro tsani
12.imam abu hamid muhammad al ghozali
13.imam abdul malik alharomain aljuwaini
14.imam abu bakar albaqilani
15.imam abdullah albahili
16.imam abu hasan ali al asy'ari
17.imam abu ali aljuba'i
18.imam abu hasyim aljuba'i
19.imam abu hudzail al 'alaq
20.imam ibrohim annadzhom
21.imam amr bin ubaid
22.imam wasil bin atto'
23.imam muhammad bin ali karomallohu wajhah
24.sayyidina ali karromallohu wajhah
25.kanjeng nabi muhammad saw
26.malaikat jibril
27.Allah swt

Orang-orang NU bermadzhab imam syafi'i

           SILSILAH GURU (URUT-URUTAN KEILMUAN) IMAM SYAFI'I
1.imam syafi'i
2.imam malik bin annas
3.imam robiaturroy
4.imam khorijah
5.imam zaid bin tsabit
6.kanjeng nabi muhammad saw

Nama asli imam syafi'i' adalah imam abi abdillah muhammad

            SILSILAH KETURUNAN IMAM SYAFI'I SAMPAI KEPADA KAKEKNYA NABI MUHAMMAD YANG BERNAMA ABDUL MUTHOLIB
1.imam abi abdillah muhammad bin
2.idris bin
3.abbas bin
4.utsman bin
5.syafi'i bin
6.assaid bin
7.ubaid bin
8.abi zayyid bin
9.hasyim bin
10.abdul mutholib

    Banyak orang yg tdk mau ikut imam madzhab...katanya cukup mengikuti hadits dari imam muslim dan imam bukhori.
Padahal...
IMAM MUSLIM BERGURU PADA IMAM HARMALAH- - -IMAM HARMALAH BERGURU PADA IMAM SYAFI'I.

IMAM BUKHORI BERGURU PADA IMAM KHUMAIDI- - -IMAM KHUMAIDI BERGURU PADA IMAM SYAFI'I

Kamis, 14 Juni 2018

Yahya Staquf di Yerusalem soal Perdamaian Israel-Palestina


Dalam pidatonya di Yerusalem, Yahya Cholil Staquf menyerukan agar Palestina dan Israel berdamai.

Jakarta, JejakNUsantara: Kunjungan Yahya Cholil Staquf ke Yerusalem menuai kecaman dan kemarahan dari kalangan pembela Palestina. Meski menyatakan lawatan itu tidak mewakili posisinya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden, ataupun Nadhlatul Ulama dimana dia menjadi Sekjen.  Sejumlah kalangan menyayangkan lawatan Yahya yang terjadi di saat Israelmelibas demonstran Palestina di Jalur Gaza. Lebih dari 120 demonstran Palestina tewas dan 3.700 lainnya luka-luka.

Dalam pidatonya Yahya Staquf menyatakan misinya, selain atas nama pribadi sebagai warga muslim, tapi juga menyerukan kepada Israel dan Palestina untuk menghentikan konflik.

Berikut pidato Yahya di Yerusalem:

Saya mengucapkan terima kasih kepada ICFR (Israel Council on Foreign relations) yang telah mengundang saya untuk datang dan berbicara di forum ini. Saya terharu. Saya, seorang Muslim, dari negeri mayoritas Muslim terbesar, dari organisasi Islam terbesar. Di tengah atmosfer yang diwarnai ketegangan, bahkan permusuhan, kebencian dan dendam, Anda mengundang saya. Anda meminta saya untuk berbicara. Dan Anda siap mendengarkan. Saya terharu. Saya tidak melihat makna lain dari ini, selain bahwa Anda semua mempunyai niat baik. Anda tulus menginginkan jalan keluar dari kemelut ini. Anda percaya, atau sekurang-kurangnya ingin menguji kepercayaan Anda, pada harapan akan perdamaian. Dan masa depan yang lebih baik.

Senyatanya, saya datang kesini bukan atas nama Indonesia, negeri asal saya, bukan pula atas nama Nahdlatul Ulama, organisasi tempat saya mengabdi. Saya datang atas nama kegelisahan dan kesedihan saya pribadi. Kegelisahan dan kesedihan yang tumbuh diatas kesaksian saya akan penderitaan orang-orang Palestina. Karena penderitaan mereka bukanlah milik mereka sendiri saja. Penderitaan mereka adalah juga kekalutan Bangsa-bangsa Arab dan kegalauan Dunia Islam. Dan pada saat yang sama, laksana gambaran di seberang cermin, penderitaan Palestina adalah juga keresahan Israel dan kegamangan Dunia Barat. Dan kini, setelah berpuluh-puluh tahun, semua itu hampir-hampir mengarah pada keputusasaan umat manusia.

Saya tidak tahu, apakah masih ada diantara kita yang menyaksikan sendiri, bagaimana semua ini dimulai. Yang jelas, kita semua adalah anak-anak dari sejarah yang penuh masalah (troubles). Sejarah yang diwarnai curiga, kebencian, rasa sakit dan amarah. Sejarah yang bergulir diluar kendali kita. Rangkaian sebab-akibat dari tindakan-tindakan diluar keputusan kita. Sejarah yang mewariskan kepada kita permusuhan dan ikatan saling menyakiti seolah perjanjian takdir. 

Izinkan saya bertanya: apakah kita ingin meneruskan warisan yang sangat tidak nyaman ini kepada generasi mendatang? Apakah kita senang anak-cucu kita merasakan ketidakberuntungan dan sakit seperti yang kita hidupi sekarang?

Sudah berapa lama kita menanggung sakit ini? Sejak puluhan tahun yang lalu? Ratusan tahun? Ribuan tahun?

Kini Anda memperingati 70 tahun berdirinya Negara Israel. Baiklah. Sudah berapa banyak, sejak 70 tahun yang lalu itu, orang mencoba menghentikan kemelut ini? Kakek-nenek kita? Bapak-ibu kita? 

Orang-orang besar datang dan pergi. Melakukan tindakan-tindakan paling berani. Berjuang untuk saling mengalahkan atau mendamaikan. Dan hari ini, kita masih seperti ini.

Guru saya, Kyai Haji Abdurrahman Wahid, enam belas tahun yang lalu menceritakan pandangan seseorang tentang upaya penyelesaian masalah Israel-Palestina, yang menurut guru saya sangat menarik (compelling). Menurut orang itu, upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini hanya mempertimbangkan aspek-aspek politik dan militer, melibatkan hanya pemimpin-pemimpin politik dan militer, dan terbukti gagal. Maka patut dicoba untuk menambahkan unsur baru dalam upaya-upaya itu, yaitu unsur agama, dengan memberdayakan inspirasi-inspirasi agama dan melibatkan pemimpin-pemimpin agama.

Foto:
Korban kekerasan di jalur GAZA

Guru saya melihat gagasan itu sangat menarik. Tapi beliau juga melihat masalah besar, bahwa didalam setiap agama itu sendiri terdapat pertentangan-pertentangan pandangan, interpretasi, dan madzhab, bahkan pertentangan-pertentangan pula diantara para pemimpinnya. Maka gagasan itu kelihatan menarik sekali saat diucapkan, tapi pasti sulit sekali untuk diwujudkan.

Di Kedutaan Besar Israel di Washington, DC beberapa minggu yang lalu, seseorang meminta konfirmasi saya mengenai adanya ajaran-ajaran Islam yang mendorong permusuhan terhadap Yahudi. Saya tidak menjawab secara langsung pertanyaan itu. Saya katakan, saya ingin mencari jalan keluar. Dan kalau agama menghalangi jalan keluar, mari kita tinggalkan saja.

Bukan maksud saya menyarankan agar orang melepaskan diri dan membuang agama. Saya sendiri beriman kepada Tuhan dan rasul-rasulNya: Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad dan semua lainnya. Iman yang saya pilih ketimbang nyawa saya. Tapi dogma-dogma adalah interpretasi. Jika suatu interpretasi agama tidak membantu kita memecahkan masalah, mari kita jelajahi interpretasi-interpretasi lainnya.

Dokter mangatakan bahwa obat apa pun tidak akan ada gunanya bagi penderita diabetes dan penyakit jantung, kecuali mereka mengubah gaya hidup dan pola makan. Al Qur'an mengatakan:


إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم

"Sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka".

Jika ditengah perseteruan ini kita terus ngotot memandang pihak lain sebagai musuh, bagaimana mungkin kita mampu melihat peluang bagi perdamaian? Apa gunanya berbagi ini dan itu, menyepakati ini dan itu, mengatakan ini dan itu, jika kita tak pernah bersedia melepaskan cita-cita untuk membasmi lawan? Apakah kita akan terus bertarung sampai salah satu pihak musnah, walaupun harus selama-lamanya hidup dalam kesengsaran?

Jika ingin menghentikan konflik, kita harus menghilangkan sebabnya. Kini setiap orang mengklaim bahwa sebab konflik ini adalah ketidakadilan. Maka masing-masing pihak menuntut keadilan. Tapi masing-masing punya perhitungannya sendiri-sendiri tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil. Dan konflik pun terus berlangsung tanpa ada ujungnya.

Izinkanlah saya mengatakan sesuatu yang semua orang sudah tahu tapi entah kenapa enggan mengingatnya, apalagi melaksanakannya. Bahwa keadilan bukan hanya soal menuntut, tapi juga soal memberi. Maka keadilan tak mungkin terwujud tanpa kasih-sayang. Orang yang tidak bersedia memberikan kasih-sayang tidak mungkin mau mempersembahkan keadilan. Ini adalah ruh agama. Inilah ruh iman.

Tidakkah Anda melihat kini, bahwa akar konflik ini bukan lagi ketidakadilan, tapi permusuhan. Kebencian kepada pihak lain akan senantiasa mendorong Anda untuk berbuat tidak adil kepada mereka dan menyakiti mereka. 


Apakah hilangnya permusuhan tergantung pada kepuasan semua pihak akan keadilan? Bagaimana mungkin? Sedangkan masing-masing punya perhitungan yang berbeda tentang keadilan dan bersikukuh dengan keinginan untuk saling menghancurkan?

Tidak. Hilangnya permusuhan adalah soal pilihan. Apakah kita memilih dendam atau memaafkan? Apakah kita memilih kebencian atau kasih-sayang? Apakah kita memilih bertarung hingga musnah atau berdamai dan bekerja sama?

Jelas bahwa pilihan-pilihan yang menjadi syarat bagi perdamaian bukanlah pilihan-pilihan yang mudah. Tapi selama kita tidak mengubah pilihan dari yang selama ini kita jalani, tidak akan ada jalan keluar sama sekali.

O, Palestina, dapatkah engkau mengistirahatkan jiwamu dari kemarahan dan dendam? O, Israel, dapatkah engkau menunda keresahanmu tentang rasa tak aman? O, Arab, dapatkah engkau merelakan ruang untuk berbagi? O, kaum Muslimin dan Yahudi, dapatkan kalian meletakan rasa saling curiga dan membangun masa depan bersama dengan ruh iman? O, Dunia! Dapatkah kalian membuat jeda dari perebutan kuasa dan sumberdaya-sumberdaya untuk perduli pada manusia? Manusia dengan darah dan daging seperti dirimu? Manusia dengan hati dan jiwa seperti milikmu? Manusia dengan orang-orang yang disayangi seperti engkau dengan kekasih-kekasihmu?

إلى الله المشتكى وهو المستعان ولا حول ولا قوة إلا يالله العلي العظيم

Tuhanlah tempat mengadu dan Tuhanlah tempat memohon pertolongan dan tiada daya dan kekuatan selain dengan pertolonganNya.

Sabtu, 09 Juni 2018

Indonesia Terpilih Menjadi Dewan Keamanan PBB

JejakNUsantara, New York: Empat Negara bersama Indonesia terpilih sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan (DK) Persatuan Bangsa-bangsa (PBB), keanggotaan tersebut akan berlaku dua tahun ke depan.

DK PBB adalah satu-satunya badan PBB yang dapat membuat keputusan mengikat secara hukum dan memiliki wewenang menjatuhkan sanksi mengizinkan penggunaan pasukan.

Seperti Dilansir dari Reuters, Jumat (8/6), berdasarkan sidang Majelis Umum PBB selain Indonesia empat negara lainnya adalah Jerman, Belgia, Afrika Selatan, dan Republik Dominika. Kelima negara akan memulai masa jabatan di Dewan Keamanan pada 1 Januari 2019.

Indonesia merebut lebih banyak kursi dibanding Maladewa untuk memperebutkan satu kursi di wilayah Asia-Pasifik. Sementara itu, empat negara lain lolos jadi anggota tanpa perlawanan berarti.

Lima Anggota DK PBB periode sebelumnya adalah Belanda, Swedia, Ethiopia, Bolivia, dan Kazakhstan

Kamis, 07 Juni 2018

Sahabat dalam doa

Ada masa saat senyum dalah hidup mu
Bersama waktu tidak akan terpisahkan
Bersama jarak tidak akan  terhalang
Tapi saat kau menikah
Semua tidak akan sama?

Semua berubah ?
Senyum sapa
Walau hanya dalam dunia maya
Nyatanya kau tetap sahabat ku
Waktu dan jarak yang jauh tak membuat ku lupa bahwa engkau pernah menggoreskan tinta cerita

Jangan bersedih sahabat
Walau jarak itu jauh
Dalam sujudku ada doa
Dalam setiap langkah ku kau tak pernah tergantikan
Satu hati satu tujuan
Satu kebahagiaan satu penderitaan

Rintihan Kalbu

Saat mata tak bersinar terang
Saat matahari mulai senja
Hati ini mulai gelisah
Kegelapan itu muncul
Aku tak tahu harus berlari kemana

Tubuh ini gemetaran,mulut ini membisu
Mata ini menetes tak henti mengalir deras
Akankah ini terus menghampiri ku
Aku tak mau hidup dalam kegelapan

Aku ingin berlari tanpa henti
Tapi hati ku berkata itu bukan jalan ku
Aku harus kembali
Kembali dalam jalan Mu

Saat sinar mentari itu datang
Akan ku kejar dan ku genggam erat
Hingga tiba akhir sebuah cerita hidup ini.

 Judul: Rintihan Qolbu
Oleh: IFLA_CUTE
JEJAK NUsantara

FIKIH MUHAMMADIYAH

Fikih Muhammadiyyah

“Kitab Fiqih Muhammadiyyah”

penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M, dimana Tertera di dalamnya :

.

1. Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha...” (halaman 25).

2. Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira...” (halaman 25).

3. Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim” (halaman 26).

4. Setiap shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27).

5. Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat (halaman 29).

6. Setelah shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42).

7. Shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50).

8. Tentang shalat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).

.

KH. Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama Muhammad Darwis. 

Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi, ulama besar yang bermadzhab Syafi’i.

.

Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama, KH. Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada asy-Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang. 

KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah.

Di pesantren milik KH. Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama, seperti kitab al-Hikam, al-Munjiyyat karya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu agama lainnya. 

.

Di pesantren ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim Asy’ari. 

Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh Darat.

Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2 tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang sama dan guru yang sama.

.

Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”.

.

Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Darat, keduanya mendalami ilmu agama di Makkah, dimana sang guru pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.

.

Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara. Praktek ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara. Hampir semua karya-karya Syaikh Nawawi albantaniy , Syaikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khaathib as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan selainnya.

.

Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah. Muhammad Darwis yang telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhammadiyyah. 

Sedangkan Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul Ulama). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya.

.

Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan berakidahkan Asy’ari. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH. Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH. Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi / Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga memahami ilmu fikih.

.

Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktek shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak berabad-abad lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir, sehingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk Makkah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijma’ (konsensus kesepakatan) para sahabat Nabi Saw.

.

Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih dengan 36 rakaat. Penduduk Makkah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf sunnah. Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang Shubuh. Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang di Makkah, mereka melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak.

.

Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. 

Ketua PP. Muhammdiyah, Yunahar Ilyas pernah menuturkan: “KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam shalat Shubuh dan shalat Tarawih 23 rakaat. 

.

Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktekkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebelas rakaat.”

Sedangkan jawaban enteng yang dikemukan oleh dewan tarjih saat ditanyakan: “Kenapa ubudiyyah (praktek ibadah) Muhammadiyyah yang dulu dengan sekarang berbeda?” Alasan mereka adalah karena “Muhammadiyyah bukan Dahlaniyyah”.

MUHAMMADIYAH bukan DAHLANIYAH juga bukan MANSURIYAH...(berubah semenjak KH Mas Mansur lewat Majelis Tarjih)...

.

Guru dan Amaliah KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyyah) dan KH. Hasyim Asy’ari (NU) adalah Sama Tiada Perbedaan .

Kitab aslinya bisa di download dibawah ini:

Download

Rabu, 06 Juni 2018

Ansor Lampung Sebar 19 Posko Strategis se-Lampung

Bandarlampung: Jejak NUsantara : Jelang  Hari Raya Idul Fitri 1439 Hijriah, jajaran Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda (GP) Ansor bersama Satuan Koordinasi Wilayah (Satkorwil) Barisan Ansor Serbaguna (Banser) telah membuat skema 19 titik posko strategis jalur mudik.

Menurut Ketua GP Ansor Lampung, Hidir Ibrahim, hal ini dilakukan demi meningkatkan kenyamanan pemudik.

“Demi menjaga kenyamanan para pemudik, nantinya kami akan selalu berkoordinasi dengan para Satkorcab Banser se-Provinsi Lampung, mengingat provinsi ini sebagai pintu gerbangnya Sumatera, maka kami akan melakukan persiapan semaksimal mungkin,” kata Hidir kepada Netizenku.com, Rabu (6/6).

Ia juga menyarankan agar para pemudik lebih berhati-hati dalam melakukan perjalanan. “Jika merasa lelah upayakan istirahat terlebih dahulu di posko yang kami siapkan ataupun posko-posko yang disediakan oleh relawan yang lain,” kata dia.

Skema 19 titik strategis jalur mudik yang telah ditetapkan oleh Satuan Koordinasi Wilayah (Satkorwil) Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Provinsi Lampung merupakan daerah-daerah strategis yang meliputi seluruh kabupaten/kota se-Lampung.

Berikut 19 titik yang tersebar di Lampung:

Masjid Agung Al Muhajirin, Jalan Lintas Timur Sumatera, Pematang Pasir, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Lampung SelatanKantor PCNU Kabupaten Lampung Selatan, Jalan Lintas Tengah Sumatera, Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung SelatanMasjid Nurul Yaqin, Lapangan Baruna Panjang Kota Bandar LampungKantor PCNU Kabupaten Lampung Tengah, Jalan Proklamator Raya No 134, Seputih Jaya, Gunung Sugih, Kabupaten Lampung TengahMasjid Wates, Jalan Lintas Tengah Sumatera, Wates, Kecamatan Bumi Ratu Nuban, Kabupaten Lampung TengahMasjid Simpang Randu, Jalan Lintas Timur Sumatera, Kecamatan Seputih Banyak, Kabupaten Lampung TengahMasjid Arroyan Islamic Center, Jalan Raya Pesawaran – Gading Rejo, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten PesawaranPermata Mart NU, Jalan Lintas Timur Sumatera, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung TimurSekretariat PAC GP Ansor Purbolinggo, Jalan Lintas Timur Sumatera, Kecamatan Purobolinggo, Kabupaten Lampung TimurSekretariat PAC GP Ansor Pekalongan, Jalan Alternatif Kota Metro –Pekalongan, Kabupaten Lampung TimurKantor PC GP Ansor Kabupaten Lampung Utara, Jalan Jenderal Sudirman, Kotabumi, Kabupaten Lampung UtaraKantor PCNU Kabupaten Way Kanan, Jalan Lintas Tengah Sumatera, Kecamatan Baradatu, Kabupaten Way KananKantor PCNU Kabupaten Tulang Bawang, Jalan Lintas Timur Sumatera, Kahuripan, Banjar Baru, Kabupaten Tulang BawangKantor PCNU Kabupaten Pringsewu, Jalan Ahmad Yani,  Lintas Barat Sumatera KM 30, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten PringsewuKantor UPT Pendidikan Gisting, Jalan Raya Gisting, Kabupaten TanggamusKantor PC GP Ansor Kabupaten Mesuji, Jalan Lintas Timur Sumatera, Simpang Pematang, Kabupaten MesujiMasjid Al Mansur Liwa, Jalan Lintas Sumatera, Liwa, Kabupaten Lampung BaratKantor PCNU Kabupaten Pesisir Barat, Jalan Lintas Barat Sumatera, Pesisir BaratKantor Kelurahan Ganjar Agung, Jalan Jenderal Sudirman No 16, Kecamatan Metro Bara,t Kota Metro.

Minggu, 03 Juni 2018

INSPIRASI RAMADHAN


Islam Kejawaan (Taddaburan/maiyahan) di Indonesia.

Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang merasakan manfaatnya Nahdlatul Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia, paling sering merasakan berkahnya NU adalah keluarga orang yang sudah meninggal : setiap hari dikirimi doa dan tumpeng.

Hari ini begitu dunia dilanda kekacauan, ketika Dunia Islam galau: di Afganistan perang sesama Islam, di Suriah perang sesama Islam, di Irak, perang sesama Islam. Semua ingin tahu, ketika semua sudah jebol, kok ada yang masih utuh: Islam di Indonesia.

Akhirnya semua ingin kesini, seperti apa Islam di Indonesia kok masih utuh. Akhirnya semua sepakat: utuhnya Islam di Indonesia itu karena memiliki jamiyyah NU. Akhirnya semua pingin tahu NU itu seperti apa.

Ternyata, jaman dulu ada orang Belanda yang sudah menceritakan santri NU,  namanya Christia Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in , tapi tidak islam, sebab tugasnya menghancurkan Islam Indonesia.

Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok melawan Belanda.

Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Dia belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya paham betul Islam.

Hanya saja begitu ke Indonesia, Snouck Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu tidak ada.

Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya Pangeran. Ketemunya Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu, ketemunya kiai. Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya langgar.

Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu Van Der Plas. Ia menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.

Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang disini makanannya nasi (sego).  Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahasa beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz .

Yang disebut ruz, ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk , korslet.

Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami ruz, rice , padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu dibuka, disini namanya beras, disana masih ruz, rice . Begitu bukanya cuil, disini namanya menir, disana masih ruz, rice. Begitu dimasak, disini sudah dinamai sego , nasi, disana masih ruz, rice.

Begitu diambil cicak satu, disini namanya
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.

Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing.

Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua, mambu rokok (bau rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).

Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang lain sudah biasa. Maka, jangankan  Snouck Hurgronje, orang Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di tanah Arab.

Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid’ah . Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah. Padahal itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan sebutan “Muhammad” saja. Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil “Mas”. Padahal orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.

Lha , akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia, Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati (essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.

Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.

Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp 20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau.

Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini sedang kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia, namanya Majapahit.

Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan kaya-raya.

Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai surga segala? Disini itu, sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah. Artinya dakwah disini tidak mudah.

Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi. Diceritain Ka’bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.

Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama hindu. Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.

Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.

Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama.

Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria, yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.

Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.

Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan manusia. Namanya aliran Bhirawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco.

Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang.

Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan Pancamakara.

Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.

Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul orang-orang macam Sumanto.

Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak mencuri namanya
ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.

Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa.

Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini di duduki bala tentara Syekh Subakir, kemudian mereka diusir.

Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro.

Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.

Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan.

Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah -kan, ceritakanlah ini. Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.

Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh Jumadil Kubro.

Disana dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang.

Nah , Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas mengislamkan Majapahit.

Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang anda bisa ditebang.

Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan : ".... masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul kuffar………”

Artinya: “…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………”

Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi.

Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.

Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun, ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun , disini sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu, menanamnya tidak kelihatan.

Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling sulit mememberi pengertian orang Jawa tentang mati.

Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya?

Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.

Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang begitu, mudah hafal dengan tembang.

Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat lintang, nyanyi: yen ing tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali nyucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok silit, gudighen.

Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa membaca perkara Empat.

Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu depan.

Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.

Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. “Dul, turun ya,”. “Iya, Ya Allah”. “Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?). “Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa,. ”fanfuhur ruuh” (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed. )

Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.

Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin qarin dan hafadzah.

Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.

Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa.

Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu , kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.

Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah terbakar.

Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu bedanya nur dengan nar.

Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan, Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo , sabut ngapati, mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk imunisasi.

Maka menurut NU ada ngapati, mitoni,
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.

Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu, bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing, potong saja kailnya.

Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama, akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.

Apalagi, setelah Sinom, tembangnya asmorodono , mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati. Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh , laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.

Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Setelah Dhandanggula , menurut Mbah Sunan Ampel, manusia mengalami tembang Dhurma.

Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana? Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?

Khairunnas anfa’uhum linnas , sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur.

Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang Megatruh : megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati.

Terakhir sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya : siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).

Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.

Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib buru-buru menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”. Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka . “Apa sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir. “Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”. “Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.”

Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?” , menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul kepalanya: ”Plaakkk!!”. Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng , takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat, di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok.

Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!

Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok : nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung . Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu.

Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.

Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang.

Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil.

Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.

Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang shalat.

Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol: kolo-kolo teko , janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak cah angon ayo memanjat mangga.

Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat 'imaadudin, lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.

Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.

Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana , – sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin.

Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro….. . Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di urugi anjang-anjang……. , langsung deh, para ma'mum buruan masuk. Itu tumbuhnya dari situ.

Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar , matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.

Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan dengan keras, agar ma'mum tahu apa yang sedang dibaca imam.

Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair: kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud tahun gajah.

Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.

Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa.

Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.

Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.

Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. "Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.

Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:

Gundul-gundul pacul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x

Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.

Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.

Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.

Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.

Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.

Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.

Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.

Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum raa’in wa kullukum mas uulun ‘an ra’iyatih ; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada sesuatu yaitu pertanggungjawaban.

Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung jawabkan disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.

Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama.

Meski, nama ini tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai organisasinya Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi, namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran, gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di desa juga ada yang hutang rokok.

Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya tabi’in . Tabi’in bukan ashhabus-shahabat , tetapi tabi’in , maknanya pengikut.

Murid Tabi’in namanya tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikut. Muridnya tabi’it-tabi’in namanya tabi’it-tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa? Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari.

Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai Asyari mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai Abdul Halim, Boyolali.

Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.

Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath.

Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah . Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw.

Kalau begini nama kita apa? Namanya ya tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.

Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis Alquran. Maka tidak ada mushaf
Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.

Untuk siapa? Untuk para tabi’in yang tidak bertemu Alquran. Maka ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman. Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari dibawahnya.

Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.

Tabiin wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.

Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang Andalusia diajari “ Waddluha” keluarnya “ Waddluhe”.

Orang Turki diajari “ Mustaqiim” keluarnya “ Mustaqiin”. Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “ Lakanuud ” keluarnya “ Lekenuuik ”. Orang Sunda diajari “ Alladziina ” keluarnya “ Alat Zina ”.

Di Jawa diajari “ Alhamdu” jadinya “ Alkamdu ”, karena punyanya ha na ca ra ka . Diajari “ Ya Hayyu Ya Qayyum ” keluarnya “ Yo Kayuku Yo Kayumu ”. Diajari “ Rabbil ‘Aalamin ” keluarnya “ Robbil Ngaalamin” karena punyanya ma ga ba tha nga.

Orang Jawa tidak punya huruf “ Dlot ” punyanya “ La ”, maka “ Ramadlan ” jadi “ Ramelan ”. Orang Bali disuruh membunyikan “ Shiraathal…” bunyinya “ Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil magedu bi’alaihim waladthoilliin ”. Di Sulawesi, “’ Alaihim” keluarnya “’ Alaihing ”.

Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran , namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.

Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung kepada Allah SWT. Kalau kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur.
Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.

Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang se-kampung.

Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum pelajarannya ulama.

Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir.

Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum ,” ada saksinya. Orang disini, ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran. Maka diadakan semaan Alquran.

Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, di telinga ada Alqurannya.

Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat jadi kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.

Ini terkesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat pedagang, seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari Indonesia.

Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi. Dilihat dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris.

Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang.

Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia.

Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad, urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw.
sumber : Agus Sunyoto Lesbumi

Kamis, 03 Mei 2018

SELAMAT DATANG SAHABAT NUSANTARA

Rabu, 02 Mei 2018

Pentingnya Pendidikan Politik Dalam Masyarakat

JejakNUsantara: Pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika dikaitkan dengan partai politik, pendidikan politik bisa diartikan sebagai usaha sadar dan tersistematis dalam mentransformasikan segala sesuatu yang berkenaan dengan perjuangan partai politik tersebut kepada massanya agar mereka sadar akan peran dan fungsi, serta hak dan kewajibannya sebagai manusia atau warga negara.
Pemahaman masyarakat hingga saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa sistem politik itu bukan urusan mereka melainkan urusan pemerintah, sehingga masyarakat masih ada yang dibodoh-bodohi atau diberikan janji–janji manis. Dalam realitanya atau penerapannya tidak sesuai dengan yang telah dijanjikan ketika sudah berhasil duduk.
Untuk mencegah hal–hal yang tidak diinginkan kembali terulang, sehingga diberikanlah pendidikan politik kepada masyarakat oleh parpol di berbagai provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Sudah saatnya pendidikan politik bagi masyarakat dalam segala kalangan usia diwujudkan dalam kegiatan yang nyata. Bukan hanya tertera pada UU partai politik ataupun menjadi program-program di atas kertas tanpa realisasi bagi partai politik.
Pengembangan pendidikan politik masyarakat sebagai bagian pendidikan politik yang merupakan rangkaian usaha untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan, guna menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa. Pendidikan politik juga merupakan konsep bagian dari proses perubahan kehidupan politik yang sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha menciptakan suatu sistem politik yang benar-benar demokratis, stabil, efektif dan efisien.

Oleh karena itu, memilih bukan kesadaran sendiri, tetapi mengikuti pilihan tokohnya.Pendidikan politik ini berfungsi untuk memberikan isi dan arah serta pengertian kepada proses penghayatan nilai-nilai yang sedang berlangsung. Dalam filosofi pendidikan, belajar merupakan sebuah proses panjang seumur hidup artinya pendidikan politik perlu dilaksanakan secara berkesinambungan agar masyarakat dapat terus meningkatkan pemahamannya terhadap dunia politik yang selalu mengalami perkembangan.
Menurut pandangan saya , pembelajaran pendidikan politik yang berkesinambungan diperlukan mengingat masalah-masalah di bidang politik sangat kompleks dan dinamis. Pendidikan politik bagi generasi muda sejak dini amatlah vital dalam mendukung perbaikan sistem politik di Indonesia.
Pengetahuan sejak dini terhadap komponen-komponen kenegaraan, arti nasionalisme, hak dan kewajiban, sistem pemerintahan, pemilu, dan segala seluk-beluk politik akan melahirkan orang-orang yang berkapasitas dan memiliki arah dalam perbaikan bangsa dan negara. Ketimbang orang orang yang beranjak dari perut lapar dan modal awal, yang ujung-ujungnya adalah makan sebanyak-banyaknya ketika menjabat.
Daftar Pustaka :